TOTABUAN.CO — Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) berharap pemerintah baru melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bisa mengefektifkan anggaran pendidikan. Selama ini, alokasi anggaran pendidikan masih sporadis.
”Saya berharap anggaran pendidikan yang tahun depan dialokasikan sebesar Rp 400 triliun itu bisa lebih difokuskan pada peningkatan kualitas Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan (LPTK) yang merupakan ‘pabrik’ guru,” ujar Ketua Umum PGRI Sulistiyo di sela-sela peluncuran buku ‘Pendidikan untuk Transformasi Bangsa, Arah Baru Pendidikan untuk Perubahan Mental Bangsa’ di Jakarta, kemarin.
“Hingga sekarang masih banyak kebijakan pendidikan yang kurang bermutu, kurang berwawasan, bahkan berisiko gagal dalam perwujudan kualitas manusia Indonesia, termasuk kurangnya daya saing pada era global,” ungkapnya.
Padahal, lanjut Sulistiyo, peningkatan kualitas pendidikan tidak semata soal bahan ajar, tapi tergantung pada mentalitas yang merupakan ekstraksi dari hampir seluruh problem kebangsaan.
“Manusia Indonesia adalah masalah, sekaligus harapan. Maka itu, revolusi mental menjadi arah baru bagi operasi pendidikan kita,” ulasnya.
Revolusi mental, kata dia, harus dilakukan dalam empat komponen sekaligus. Pertama, revolusi manajemen makro pendidikan nasional. Kedua, revolusi manajemen pendidikan daerah.
Ketiga, revolusi manajemen satuan pendidikan. Dan keempat, revolusi pembelajaran. Yang cukup disoroti PGRI dari empat komponen itu adalah terkait revolusi pembelajaran.
Menurutnya, mutu pendidikan diwujudkan melalui penciptaan iklim sekolah dan pembelajaran yang mencerdaskan.”Faktor terkuat untuk mewujudkan itu adalah dengan mewujudkan guru yang profesional. Caranya, harus mendorong perbaikan mutu LPTK yang berkualitas dan terstandar. Dilengkapi dengan sistem sertifikasi yang terpercaya,” beber Sulistiyo.
Pemerintah, lanjutnya, harus memprioritaskan pembangunan LPTK yang bermutu, profesional, dan berstandar internasional. Selama ini, LPTK malahan dianggap sebagai Perguruan Tinggi (PT) kelas dua.
“Tidak mendapat prioritas, sehingga dukungan anggaran sangat kecil. Akibatnya guru yang dihasilkan kurang bermutu. Ironisnya, sebagian besar calon guru, sekitar 95 persennya dihasilkan oleh LPTK swasta dengan kualitas di bawah standar,” jelasnya.
Pengamat pendidikan Muhammad Abduhzen menyebutkan Indonesia harus memiliki blue print baru pendidikan nasional. “Pemerintah baru memiliki PR menata ulang sistem pendidikan di Indonesia. Harus mampu menyusun ide baru terkait revolusi mental,” sarannya.
Sumber : jpnn.com