TOTABUAN.CO — Lembaga Bantuan Hukum Anak (LBH Anak) Banda Aceh menemukan 87 anak usia sekolah dikeluarkan dari sekolah karena terlibat kasus hukum, baik pelaku maupun korban. Pihak sekolah beralibi pihak sekolah merasa tercoreng nama baik sekolah dengan kasus hukum ini.
Data yang dirilis LBH Anak Banda Aceh, angka ini menyebar dari sejumlah wilayah Aceh yakni: 27 anak di Banda Aceh, 18 anak di Aceh Besar, 15 anak di Pidie, 4 anak di Bireun, 3 anak di Aceh Barat, 1 anak di Aceh Jaya, 2 anak di Aceh Selatan, 3 anak di Lhokseumawe, 7 anak di Aceh Utara, 3 anak di Aceh Timur serta 4 anak di Tamiang.
“Rata-rata tindak pidana terlibat kasus pencurian, kekerasan seksual, dan narkoba. Kami menemukan bahwa semua pelaku anak yang terlibat masalah hukum tidak pernah mendapat dispensasi apapun dalam pendidikannya,” kata Manajer Program LBH Anak, Banda Aceh, Rudy Bastian, Senin (29/12) di Banda Aceh.
Katanya, padahal sekolah merupakan institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat pembinaan moralitas bagi anak. Namun LBH Anak menemukan cenderung akhir-akhir ini menjadi tempat pendidikan dan perlakuan kekerasan di praktikan bagi anak.
“Tentu mengeluarkan anak dari sekolah ketika terjerat hukum adalah sebuah kekerasan yang kami maksud. Apa lagi tidak ada Standar Operasional Prosedur (SOP) mengeluarkan anak di sekolah,” tegasnya.
Mirisnya lagi, sebut Rudy, ada anak korban pelecehan seksual, diperkosa maupun disetubuhi oleh pelaku dewasa, juga tidak mendapat perlindungan dari pihak sekolah. Sekolah justru berpendapat bahwa kejadian terhadap anak tersebut merupakan aib bagi sekolah. Anak sebagai korban ini dengan terpaksa dikeluarkan dan putus sekolah.
“Harusnya kita melihat anak-anak ini sebagai korban dari proses salah didik kita orang dewasa selama ini,” imbuhnya.
Oleh karena itu, LBH Anak mendesak Dinas Pendidikan segera menyiapkan konsep SOP yang layak bagi sekolah dalam menghadapi siswa yang terlibat hukum. Ini menjadi penting agar diskriminasi terhadap anak tidak terus dipelihara oleh pihak sekolah. Alasan alibi memalukan sekolah tidak bisa ditolerir jika terus dikampanyekan.
“Justru alasan ini menunjukkan institusi sekolah tidak lagi menjadi tempat belajar bagi anak akan tetap telah menjadi lembaga perlakuan kekerasan terhadap anak,” tukasnya.
sumber : merdeka.com