Oleh: Ahmad Ishak (Matt Jabrik)
PELAKU KEJAHATAN tidak bisa diberikan toleransi sekecil apapun. Jika terbukti bersalah, hukuman yang pantas mereka terima sudah diatur dalam undang-undang negara Indonesia. Pembunuhan, pencurian, pemerkosaan (pencabulan/pelecehan seksual), koruptor uang negara, semuanya pantas dihukum sesuai kejahatan mereka. Yang menentukan tingkat kepantasan itulah, peran aparat penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, KPK, Hakim, dibutuhkan. Mereka yang melakukan penyelidikan /penyidikan, menuntut hingga mengadili para pelaku kriminal tersebut.
Walau bukan tergolong yang pertama kalinya, kematian satu dari dua tahanan, RJ alias Rifal, diduga pelaku pembunuhan aparat Polisi anggota Polsek Kaidipang Kabupaten Bolaang Mongondow Utara bernama, Aiptu Joko Siswanto, cukup menghenyak dan membuat heboh warga Bolaang Mongondow.
Rifal yang ditangkap bersama adiknya ZJ alias Nal, sehari pasca kematian Aiptu Joko, langsung digiring ke Mapolres Bolaang Mongondow yang berkedudukan di Kotamobagu setelah menjalani beberapa prosedur penyelidikan aparat Polisi di lokasi kejadian (TKP: Rumah Makan Tepi Laut Boroko). Sesuai pemberitaan situs berita online, zonabmr.com, tersangka Fal, ternyata mantan Narapidana kasus penikaman di tahun 2012 silam dan dibebaskan tahun 2014.
Sehari ditahan, Rifal ditemukan tak bernyawa lagi ketika berada di sel Mapolres. Berita-berita yang ditayangkan sejumlah situs berita seperti,zonabmr.com dan totabuan.co, melaporkan peristiwa yang masih mengundang banyak spekulasi ini. Rumor yang beredar bahwa kedua tahanan mengalami penyiksaan hebat hingga penembakan di kaki (konon berupaya memberontak ketika ditangkap), masih samar kebenarannya. Kapolres Bolaang Mongondow, AKBP William Simanjuntak, bahkan membantah jika kedua tahanan mengalami penganiayaan. Namun, Kapolres yang baru dua bulan dilantik ini mengaku sudah melakukan proses penyelidikan kepada aparat Polisi yang bertugas menangani para tersangka, baik saat penangkapan hingga petugas piket tahanan mapolres. Terkait kronologis kejadian ini bisa diunggah di: (http://www.zonabmr.com/read/8203/mantan-napi-tikam-anggota-polsek-bolmut-hingga-tewas.html) (http://www.zonabmr.com/read/8211/tersangka-penikam-polisi-bolmut-meninggal-dalam-penahanan.html) (http://www.zonabmr.com/read/8211/tersangka-penikam-polisi-bolmut-meninggal-dalam-penahanan.html) (https://totabuan.co/2015/01/nayodo-kapolres-harus-bertanggung-jawab-atas-meninggalnya-tahanan/) (https://totabuan.co/2015/01/sebelum-meninggal-rival-masih-sempat-minta-air-minum-ke-kapolres-tapi-dicuek/)
Salah satu catatan penting dari peristiwa tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa aparat Kepolisian Polres Bolaang Mongondow bergerak cepat dalam menangani kasus pembunuhan terhadap anggota mereka. Sehari pasca penikaman anggota Polisi malang tersebut, dua tersangka yang diduga kuat merupakan pelaku sudah berhasil diringkus. Walau akhirnya meninggal di tahanan secara kontroversial, tindakan Polisi dalam menangani kasus ini patut diakui (tentu saja bukan tindakan kekerasan yang diduga dialami tersangka hingga meninggal dan satunya lagi dalam keadaan gawat karena luka-luka).
Masyarakat Bolaang Mongondow Raya (BMR) patut mengapresiasi kinerja Polisi khususnya Polres Bolaang Mongondow yang membawahi 5 kabupaten/kota, dan berharap standar ini berlaku juga bagi semua masyarakat di segala tingkatan, bukan hanya sesama anggota Polisi, apalagi hanya kepada golongan masyarakat tertentu, pejabat atau orang berduit saja. Kita banyak mengetahui ketimpangan hukum seperti ini, namun kali ini sebaiknya kita berbaik sangka dahulu kepada aparat Polisi kita.
Di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), salah satu kasus kriminal yang penanganan hukumnya bisa dibilang memiriskan adalah kasus pembunuhan terhadap gadis cilik asal desa Paret kecamatan Kotabunan, Elvira Mokoginta. Bocah umur 11 tahun yang dikenal sebagai penjaja kue keliling tersebut, ditemukan dalam kondisi mengenaskan di areal perkebunan sekitar pertigaan arah Soyowan Ratatotok. Badannya hangus terbakar setelah sebelumnya diperkosa kemudian dibunuh. Kasus tahun 2011 silam ini mengundang prihatin dari banyak kalangan, tak luput kritik keras terhadap aparat penegak hukum terutama Polisi, akibat ketidakjelasan penanganannya. Satu-satunya tersangka yang bernama, BM alias Benny, buruh bangunan proyek yang berkedudukan di desa Paret, akhirnya bisa lolos dari jeratan hukum karena penyidik Polres Bolmong tidak memiliki bukti cukup untuk menjerat Benny. Informasi terakhir, setelah masa penyelidikan serta penahanan di Mapolres Bolmong berakhir dan bukti masih juga belum bisa ditemukan, Benny dikeluarkan dari tahanan dan pergi begitu saja. Polisi memang tidak bisa menahan (lebih dari masa tahanan yang telah ditetapkan undang-undang), kepada oknum tersangka yang tidak ditemukan bukti kejahatan yang dia lakukan. Sebagai catatan, Kapolres yang menjabat kala itu adalah AKBP Enggar Brotoseno, dan pernyataan yang sama disampaikan oleh Kapolres berikutnya, AKBP Hisar Siallagan, ketika sempat dikonfirmasi langsung penulis.
Alasan-alasan ini masih bisa diterima karena hak setiap warga negara Indonesia adalah mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Namun melepaskan begitu saja seorang tersangka tanpa status jelas—bahkan sekedar wajib lapor—hanya karena bukti belum cukup, tentu saja merupakan keteledoran. Bagaimana jika kemudian Polisi menemukan bukti baru dan mengarah kepada Benny? Pria tanpa identitas dan alamat jelas ini tentu akan sulit dicari keberadaannya. Selain itu, salah satu oknum berinisial AR, pemilik sepeda motor RX-King yang diduga dipakai pelaku saat membawa lari Elvira di saat kejadian, sudah lebih dulu dibebaskan Polisi. AR kini tidak jelas alamatnya walau dia tercatat sebagai warga desa Paret juga, luput dari jeratan hukum dan alamatnya tidak lagi diketahui warga sekitar.
Kini keluarga Elvira, tidak tahu harus mengadu ke mana. Mereka tidak mengerti seperti apa hukum ditegakkan di negeri ini. Mereka hanya tahu anak mereka yang malang telah dibunuh secara kejam, dan Polisi tidak pernah menemukan si pelaku. Mereka masih yakin bahwa Benny dan AR punya keterlibatan, namun apa daya penegak hukum sudah membebaskan keduanya. Beberapa kali upaya mempertanyakan ke pihak Kepolisian, namun hasilnya nihil. Aleng Mokoginta dan Suriati Modeong, orang tua Elvira, hanya berharap Tuhan Yang Maha Kuasa bisa membalas pengorbanan Elvira yang sudah menjadi salah satu tulang punggung keluarga sebagai penjual kue keliling kampung, dengan pahala setimpal dan tempat terindah di surga. Kepada Polisi, mereka berharap bisa dibukakan pintu hatinya untuk membuka lagi kasus ini dan menemukan siapa pembunuh Elvira sebenarnya.
Belajar dari penanganan kasus pembunuhan Aiptu Joko Siswanto, yang hanya dalam kurun waktu sehari Polisi sudah bisa menentukan dan menangkap dua tersangka sekaligus, ada harapan besar bagi orang tua Elvira untuk mendapatkan keadilan. Kemajuan teknologi yang bisa mengungkap kejadian kriminal secanggih apapun sudah dimiliki Kepolisian Republik ini. Keluarga Aiptu Joko, walau dalam kesedihan mendalam, setidaknya bisa bernafas lega karena oknum yang disangka pelaku pembunuhan cepat atau lambat akan menerima ganjaran setimpal. Bahkan, salah satu sudah meninggal di sel tahanan Mapolres Bolmong (atau di perjalanan ke rumah sakit seperti sangkalan Kapolres;
http://www.zonabmr.com/read/8218/simanjuntak-terbaring-dalam-sel-bersimbah-darah-itu-foto-dari-mana.html dan https://totabuan.co/2015/01/kapolres-bolmong-bantah-kalau-rival-meninggal-di-sel-tahanan/), satunya lagi dirawat intensif di rumah sakit Datoe Binangkang Kotamobagu karena kondisi tubuh lemah dan menderita luka-luka dugaan kekerasan. Ancaman hukuman panjang ketika tersangka terbukti secara hukum melakukan pembunuhan kepada anggota Polsek Kaidipang tersebut sudah di depan mata. Tidak diragukan proses kasus ini akan cepat dilimpahkan ke Kejaksaan untuk selanjutnya diperadilankan, karena sudah ada sejumlah bukti kuat (termasuk tersangka yangsudah dibekuk), apalagi kejadian ini menimpa keluarga besar Korps Polri.
Miris memang, kedua oknum kakak beradik ini masih berstatus tersangka, sehingga menurut hukum belum dipastikan bersalah. Atas dasar asas praduga tak bersalah, mereka berhak mendapat perlakuan yang sama dengan Benny maupun AR—dalam kasus Elvira—, menunggu pembuktian pasti dari hasil penyidikan Polisi.
Tapi baiklah, tanpa bermaksud mendukung kekerasan yang diduga kuat dialami keduanya sejak penangkapan di Bolmut hingga ditahan di Polres Bolmong, “nyawa telah dibayar nyawa”. Tersangka satunya lagi bangka-bengko dan siap-siap menunggu peradilan atas dugaan kejahatan yang mereka lakukan terhadap mendiang Aiptu Joko. Paling tidak, ada seonggok keadilan walau berlumur kontroversi dugaan pelanggaran HAM, yang menjadi harapan terungkapnya kebenaran di tangan penegak hukum kita. Namun kemudian, nyawa Elvira dibayar apa? Semoga yang terhormat bapak Kapolres Bolaang Mongondow, AKBP WIlliam Simanjuntak, bisa menjawabnya.(*)
Penulis adalah warga desa Tombolikat Selatan kabupaten Boltim.