Oleh: SOFYANTO
(Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan, Hukum dan Ekonomi Terapan
Kab. Bolaang Mongondow – Sulut)
“Mari kita selamatkan uang rakyat untuk kembali ke rakyat”, begitu sepenggal kalimat yang terlontar saat Presiden Jokowi membuka Musrembang RPJMN 2015 (Selasa,26/5/2015) di Kementerian PPN/Bappenas. Itikad baik Presiden Jokowi itu patut diapresiasi sebagai sebuah langkah positif yang tak bisa dianggap main-main dalam melawan korupsi.
Sebagai tindak lanjutnya, tidak kurang 96 rencana aksi presiden memberantas korupsi pun telah dipaparkan dalam Inpres No 7 Tahun 2015 Tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) Tahun 2015. Sebenarnya di era pemerintahan sebelumnya dengan slogan “hukum menjadi panglima”, Inpres sejenis sudah pernah diterbitkan tapi ternyata tidak membawa hasil yang maksimal.
Data yang di rilis Transparency International (TI) di situs resminya skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia hanya naik 2 point (34) di tahun 2014 dari skor tahun 2013 (32). Artinya pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung masih bergerak sangat lambat namun makna positifnya telah ada ikhtiar dari pemerintah dalam memerangi tindak pidana korupsi di negeri ini.
Sekilas gurita korupsi di Indonesia tampaknya tak pernah mereda, hampir tiap saat kita disuguhi informasi oknum pejabat yang tersandung di pusaran korupsi. Menariknya dalam soal pengungkapannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cenderung menonjol dibanding dua lembaga penegak hukum lainnya. Kendati didera sejumlah kecaman keras dan ancaman amputasi kewenangan penyadapan yang dimilikinya namun lembaga KPK tetap tegas menindak oknum-oknum koruptor.
Membangun system korupsi halal
Di berbagai kesempatan pidato, Presiden Jokowi sering menyebutkan bahwa membangun system sangat efektif untuk mengurangi terjadinya korupsi. Mantan Walikota Solo ini merujuk beberapa system yang telah dibangun saat beliau menjadi Gubernur DKI Jakarta yakni E-Purchasing, E-Katalog, E-Budgeting.
Kalau system dimaksud ditafsirkan sebagai perangkat lunak (software) maka tidak serta merta disematkan bahwa system itu sudah baik dan efektif mengurangi korupsi. Semisal system Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) merupakan system pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan secara terbuka namun ternyata belum efektif mencegah korupsi. Ketua LPSE Kab. Serang salah satu contoh kasus oknum pemerintah daerah yang tergelincir kasus korupsi dalam LPSE, dan masih banyak daerah lain tersandung perkara yang sama.
Adapun kalau system dimaknai sebagai sebuah proses dari serangkaian kegiatan yang kait mengait maka ini terilustrasi dalam beragam produk hukum yang diterbitkan pemerintah baik itu bersifat revisi maupun kebijakan baru. Persoalan seriusnya berapa banyak dan system yang mana perlu di perbaiki, karena terus terang sejauh ini uji kelayakan system yang diterapkan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah. Akibatnya, informasi akurat seputar sektor, bidang mana saja yang terindikasi lemah dan bagaimana modus melakukan korupsi tidak terakomodir dalam klausul regulasi yang diterbitkan.
Pengabaian terhadap kelayakan system, memposisikan pemerintah terjebak dalam kerangkeng bongkar pasang berbagai produk hukum, hari ini diberlakukan dua tiga hari kemudian dicabut lagi keberlakuannya. Sangat ironi, jika peraturan pemerintah harus dilahirkan selalu dalam keadaan prematur dan bukan sekali dua tragedi ketatanegaraan itu terjadi.
Persepsi Korupsi
Korupsi dan teroris adalah dua hal di bangsa ini yang mendapat tempat dan perlakuan sama sebagai kejahatan luar biasa yang mesti dihancurkan sampai ke akar-akarnya. Memang tidak mudah berjibaku dalam pusaran korupsi yang berlapis-lapis, karena seiring perkembangan pengetahuan di jagat raya ini maka sejalan itu pula selalu ditemukan varian-varian baru modus korupsi. Sebagai virus bangsa yang haram hukumnya, tindak korupsi telah menimbulkan kerusakan permanen pada sendi-sendi kehidupan bangsa. Namun bagaimana proses kerusakan itu terjadi, motif dan modusnya saat dilakukan, jarang terungkap diawal. Saat terjadi proses penyelidikan/penyidikan barulah diketahui rangkaian proses pidana korupsi terjadi.
Menelisik pengungkapan korupsi di Indonesia maka tak terpisahkan dengan aksi-aksi heroik KPK. Tanpa harus menunggu adanya laporan masyarakat, berbekal kewenangan penyadapannya maka mudah saja KPK menelusuri jejak-jejak korupsi. Namun pada 2 lembaga penegak hukum lainnya, menelusuri jejak korupsi membutuhkan hasil audit BPK/BPKP ataupun adanya laporan masyarakat yang masuk. Pada konteks ini kepolisian dan kejaksaan bertindak berdasar delik aduan, kendati korupsi itu sebenarnya bukan delik aduan.
Untuk itulah rekayasa persepsi pemerintah bahwa korupsi barang haram perlu didudukan dalam perspektif barang halal berbatas. Argumentasi sederhananya, bahwa system yang dibangun dan dijalankan pemerintah harus diuji kelayakannya, dimana celah yang berpotensi akan menimbulkan tindak korupsi serta bagaimana modusnya. Katakan sebagai pilot project pemerintah pada sampel daerah tertentu, bahwa daerah itu diwajibkan menjalankan sebuah system yang telah dirancang pemerintah.
Hasil uji kelayakan system akan memberikan umpan balik berupa data dan informasi baru yang kemudian menjadi bahan masukan dalam penyusunan sebuah system. Dengan begitu itikad baik presiden mengendalikan korupsi berbasis system entah dalam bentuk teknologi informasi maupun produk hukum benar-benar efektif, berisi sejumlah menu yang uptodate serta memuat klausul-klausul yang mampu meredam beragam modus koruptor sekalipun ia ber IQ setara Albert Einstein.
Dampak turunan dari study kelayakan ini sudah pasti akan menimbulkan kerugian negara, namun itulah harga yang harus dibayar atas diperolehnya pengetahuan baru. Mungkin saja juga pada survey kuartal ketiga dan seterusnya popularitas presiden Jokowi akan ikut terjungkal bebas karena mengambil kebijakan ekstrim ini. Tapi saya berkeyakinan kendati kebijakan itu kontroversi namun membawa efek kemaslahatan bagi rakyat Indonesia, selalu saja akan menjadi pilihan utama dari Presiden Jokowi. Semoga itu terjadi.