Oleh: Ahmad Alheid
Presiden Joko Widodo mengatakan, dia tidak tergesa-gesa mengomentari peristiwa Paniai, yang menewaskan empat orang dan 21 lainnya terluka, karena tindakan kekerasan sudah sering terjadi di Papua. “Kalau saya komentari baru tidak selesaikan buat apa saya komentari,” katanya saat bertatap muka dengan Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) di GOR Waringin Kota Jayapura, Papua, Sabtu (27/12/2014) petang, sebagaimana dikutip KOMPAS.com.
Dia mengatakan, butuh data konkret sebelum menyampaikan pernyataan secara terbuka. Mungkin, dia kuatir pernyataannya justru memantik reaksi lebih buruk. Presiden pun mewacanakan dialog guna mencari penyelesaian masalah Papua yang lebih konstruktif. Upaya ini diharapkan bisa menghentikan aksi kekerasan di Papua di masa mendatang.
Di tempat terpisah, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto menjelaskan rasionalisasi aksi bungkam Presiden. Presiden, secara sadar, memilih tidak mengeluarkan pernyataan, terang dia, “Karena Presiden ingin betul-betul mencari satu solusi permanen untuk tanah Papua yang damai.”
Pernyataan Presiden ini menanggapi kritikan yang menyoal “kelambanannya” merespons peristiwa kekerasan tersebut, yang menyebabkan munculnya penolakan terhadap rencana kehadiran Presiden dalam rangka perayaan Natal di Papua pada 27-28 Desember. Beberapa aktivis melayangkan protes atas sikap diam Presiden dan menyatakan menolak kedatangannya ke Papua.
Berkenan dengan sikap Presiden ini, Franz Magnis-Suseno, seorang budayawan, menulis surat terbuka untuk Presiden yang dimuat di rubrik Readers Forum pada Jakarta Post edisi Selasa (23 Desember 2014) dengan judul: “Your letters: Jokowi does not need to go to Papua.” Surat berisi kritikan pedas itu kemudian dikutip banyak media.
Menurutnya, Presiden tak ambil pusing dengan nyawa orang-orang di wilayah yang 90 persen penduduknya memilih Jokowi-JK pada pemilihan presiden lalu. Kenyataan ini, lanjut dia, juga gagal membuktikan bahwa ‘Jakarta’ benar-benar menganggap bahwa rakyat Papua sebagai warga negara Indonesia dan sebagai manusia.
“Hanya butuh waktu kurang dari dua bulan masa kerja bagi Presiden baru ini untuk menunjukkan bahwa dia hanyalah seorang politisi yang mengincar kekuasaan seperti yang lain,” tulis Franz, menyimpulkan.
Kegeraman Franz, juga para aktivis kemanusiaan yang peduli dengan situasi Papua, adalah lumrah. Seorang kepala negara tidak seharusnya menutup mulut sementara ada tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan (alat negara) yang menyebabkan hilangnya nyawa warga negaranya sendiri. Apakah Presiden harus menunggu berada di Papua dan sesudah dikritik kiri-kanan lantas kemudian mengeluarkan pernyataan? Apakah akan menanggapi setelah mendapatkan laporan lengkap dan akurat kronologis di tempat kejadian perkara? Atau nanti bicara setelah usai merumuskan “solusi permanen untuk tanah Papua yang damai”?
Sebagai warga negara di salah satu bagian negeri ini, kami barangkali tak peduli jika Joko Widodo sebagai Presiden hanya “mengincar kekuasaan seperti yang lain”, sebagaimana dituduhkan Franz Magnis-Suseno. Namun, Presiden harus membuktikan bahwa dia mempedulikan keberadaan setiap ‘daerah’ tanpa pembedaan antara satu dengan yang lain, serta tidak mewarisi sikap imperialistik ‘Jakarta’ yang selama ini menjadi kenyataan traumatik dalam kehidupan ‘berbangsa’. Dengan begitu, harapan yang disampirkan ke pundaknya oleh warga di negeri ini tidak sia-sia.
Harapan yang digantungkan warga negara di Indonesia tidak cukup disambut dengan ‘blusukan’ dan ‘lengan baju yang disinsingkan’, melainkan solusi konkret dengan mengindahkan aspirasi yang berkembang di ‘daerah’. Suara ‘daerah’ harus didengarkan dengan seksama oleh ‘Jakarta’ agar dialog menuju “solusi permanen” yang damai untuk semua ‘daerah’ –tidak hanya Papua—dapat diwujudkan.
Kami, orang-orang di ‘daerah’, juga gerah jika segala sesuatu menyangkut pemerintahan dan hajat hidup orang banyak di ‘daerah’ diatur oleh ‘Jakarta’. Urusan memilih kepala daerah secara langsung atau tidak, misalnya, mesti bergantung pada keputusan ‘Jakarta’. Ada hal-hal yang semestinya diatur secara khusus dan berbeda di setiap daerah sesuai ‘kearifan lokal’ di masing-masing wilayah. Untuk itu diperlukan otonomi lebih luas guna mengakomodir sistem yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing ‘daerah’. Sistem itu bisa berupa federalisme. Dengan demikian, ‘Jakarta’ bisa memperlakukan adil semua ‘daerah’.
Penulis adalah pemerhati sosial-politik dan saat ini bekerja sebagai PNS di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur