Oleh SOFYANTO
(Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan, Hukum dan Ekonomi Terapan)
Seakan sebagai jawaban atas keluhan pengusaha selama ini pas benar, Presiden Jokowi-JK akhirnya melansir paket kebijakan ekonomi jilid II bertema soal perizinan investasi. Pasalnya, bukan menjadi rahasia lagi bahwa praktek yang dipertontonkan oleh sejumlah oknum yang terkait perizinan selama ini membuat presiden geram, karena jauh dari kepatutan dan masih dilingkaran jargon “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah”. Akibatnya, rentang waktu pengurusan izin itu menjadi begitu lama dan panjang, ini diakui sendiri oleh Presiden Jokowi kalau rata-rata mengurus perizinan di Indonesia masih dikisaran 52,5 hari dibandingkan negara tetangga seperti Singapura yang hanya 2,5 hari, Malaysia 5,5 hari, dan Thailand 27,5 hari.
Sebagai ikhtiar lebih lanjut dari paket kebijakan ekonomi jilid II tersebut, Presiden pun mengumpulkan para kepala daerah untuk diberi aba-aba dan komando agar mereka turut pula menyukseskan program kerja pemerintah pusat yang digariskan tegas dalam paket kebijakan ekonomi jilid II itu. Tidak tu saja, untuk memperkuat paket kebijakan ekonomi jilid II itu, Inpres No 7 Tahun 2015 Tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) Tahun 2015 pun diluncurkan dimana telah dipetakan secara jelas 96 rencana aksi pencegahan pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu dari rencana aksi itu adalah memerintahkan pemerintah daerah membentuk Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP).
Bukan tanpa alasan rencana aksi itu capek-capek digagas presiden, pasalnya data Kementerian Dalam Negeri memperlihatkan hingga bulan Pebruari 2015, masih ada 44 pemerintah kabupaten/kota yang silap menerapkan sistem itu. Kendati juga system itu telah diterapkan, namun ternyata kantor PTSP belum dijadikan tempat berkumpulnya semua perizinan. Masih sekitar 6 pemerintah provinsi, 115 kabupaten, dan 22 kota yang belum sepenuhnya mendelegasikan kewenangan perizinan ke PTSP.
Ada dua sebab mengapa kebijakan penyederhanaan perizinan ini dibidik dan menjadi incaran pemerintah pusat, pertama untuk menggenjot laju pertumbuhan ekonomi nasional yang hingga kuartal ketiga ini masih bergerak lambat bahkan terindikasi akan terjun bebas ke titik psykologis. Kedua, disinyalir pelayanan perizinan menjadi sarang munculnya korupsi yang dituding menyebabkan investasi di daerah terengah-engah. Untuk itu dalam rapat dengan para kepala daerah, presiden Jokowi meminta agar gubernur/bupati/walikota tidak abai membenahi sengkarut tata kelolah perizinan di daerahnya. Diperkirakan akibat tata kelolah perizinan yang buruk, sumbangan investasi ke pertumbuhan ekonomi lokal telah menciut, dari angka 30 persen ke angka 26 persen karena tergerusnya penciptaan lapangan kerja.
Pertanyaan kritisnya, bagaimana dengan daerah yang “kumabal” dan tidak menerapkan System Pelayanan Terpadu Satu Pintu ? Jawabnya sanksi menanti di depan mata akan diberikan kepada kepala daerah yang bersangkutan menurut Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kemendagri Muhammad Marwan. Sanksi terberat yang diberikan secara berjenjang berupa Menteri Dalam Negeri mengambil alih perizinan untuk wilayah propinsi, dan Gubernur mengambil alih perizinan untuk wilayah kabupaten/kota.
Patut disyukuri di wilayah Bolaang Mongondow Raya (Baca: BMR) sendiri, System Pelayanan Terpadu Satu Pintu ini sudah ghalib dipraktekkan sejak tahun 2007. Ihwalnya ide ini digagas pertama kali Pemerintah Daerah Kabupaten Bolaang Mongondow di tahun 2004 dengan melakukan uji coba Unit Pelayanan Terpadu System Perizinan Satu Atap (UPT SINTAP). Saya berposisi sebagai koordinator SINTAP dimasa itu, bertugas mengkoordinasikan semua perizinan yang banyak berserakan di SKPD ke dalam satu tempat di bilangan depan kopi korot jalur dua. SINTAP merupakan stereotipe system pelayanan perizinan hasil cloning atau duplikasi dari system serupa di Solo yang merupakan contoh terbaik di Indonesia. Belakangan, ketika terjadi pemekaran Kab. Bolaang Mongondow Induk, system ini ditularkan oleh saudara Adnan Massinae, S.Sos, MAP (Kepala BKD Kotamobagu) saat menyusun nomenklatur perangkat pemerintahan Kab. Bolaang Mongondow Utara dan Kotamobagu.
Terlepas dari kronologis hal ihwal PTSP di wilayah BMR, ada hal menarik yang penting untuk dipelototi bersama yakni pengawasan terhadap jalannya system PTSP itu sendiri. Ini jika tidak diawasi, dikhawatirkan geliat korupsi akan semakin menggurita di balik mantera pelayanan perizinan sehingga nantinya akan berdampak buruk pada kesempatan berusaha di daerah. Ada tiga alasan kenapa harus diawasi :
- System yang dijalankan dalam proses penerbitan izin berkesan belakangan sangat ego sektoral dan tertutup rapat bagi instansi teknis lain. Padahal dalam peraturan daerah pembentukan PTSP itu sendiri (kebetulan saya penyusunannya) sudah mencantumkan klausul pasal pembentukan tim koordinasi yang keanggotaannya berasal dari instansi teknis terkait. Klausul ini dimasukkan didasari konstruksi berpikir, bahwa PTSP hanyalah tempat pelayanan penerbitan izin alias tukang ketik izin. Sedangkan urusan tanggung jawab teknis sebetulnya masih melekat pada Dinas/Badan yang memiliki kewenangan itu. Situasi yang terkesan ego sektoral ini sangat berbahaya jika dibiarkan dan perlu diberi tanda awas. Sekiranya nanti dikemudian hari muncul masalah serius maka dipastikan aparat PTSP hanya melongo kebingungan bak sapi kelaparan di tengah padang rumput yang kering, karena tidak dapat menjawab silang sengketa yang tersangkut tataran teknis dari perkara itu.
- Pembayaran tarif perizinan masih ditunggangi modus cari untung lewat kontak langsung antara aparat yang menangani perizinan dengan masyarakat. Ini membuka ruang terjadinya high economy cost (ekonomi biaya tinggi) yang dapat menyebabkan pelaku usaha enggan mengurus izin. Seharusnya pembayaran ini dilakukan langsung masyarakat pada bank yang direkomendasikan untuk mendapat bukti slip penyetoran. Paling tidak ada dua opsi untuk mempersingkat durasi waktu pembayaran ini, pertama, bank menempatkan petugasnya di kantor PTSP, atau kedua, PTSP membuat metode pembayaran berbasis digital semisal Payment Online System (POS).
- Penyedian papan informasi tarif setiap jenis perizinan yang diterbitkan hampir pasti tidak disediakan oleh kantor PTSP, akibatnya celah korupsi itu selalu ada. Contoh soal, boleh jadi tarif Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) untuk usaha warung hanya Rp. 150.000 namun yang dibebankan ke masyarakat dibandrol pada angka Rp. 2.000.000. Ironis memang, kalau berlipat lipat biaya harus dipikul masyarakat sementara usaha yang dimilikinya cuma setara usaha tampal ban dibilangan desa Komangaan, dengan penghasilan tiap hari ditaksir pada kisaran Rp.5.000 – Rp. 10.000.
Ketiga biang kerok masalah ini harusnya bisa di atasi jika ada irisan niat yang terbilang cukup tangguh untuk memperjuangkannya tanpa dibalut rupa-rupa kepentingan pribadi. Dan itu semua menjadi ranah wewenang kepala daerah dan anggota DPRD memperbaiki karut marut pelayanan perizinan di daerah secara serius dan sungguh-sungguh. Menambal sekat-sekat yang bocor dalam pelayanan perizinan sebagaimana telah dipaparkan tadi adalah langkah terbaik perlu diambil para pemangku kepentingan. Langkah ini nantinya, membuat investor senang karena gampang mendapatkan izin dan itu dijamin 100 persen akan mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi daerah secara pesat.
Di luar itu, masih terdapat alternatif kebijakan lain yang diharapkan dapat menjadi titik sunting dan ditunggu-tunggu kalangan investor/pengusaha. Kebijakan dimaksud adalah kepala daerah membebaskan mereka dari kewajiban membayar retribusi daerah baik itu retribusi bersifat umum maupun bersifat khusus semisal retribusi perizinan. Disadari kebijakan ini bakal menuai kegaduhan, pro-kontra, serta dilema yang menyasar logika akal sehat. Capaian Pendapatan Asli Daerah jelas akan terdampak jika kebijakan ini diambil, namun diujung lain pertumbuhan ekonomi daerah akan meroket tajam.
Pada perspektif ini dengan menakar manfaat yang lebih besar di kemudian hari, maka perlu ada rekayasa kebijakan kepala daerah secara proporsional. Bahwa kebijakan membebaskan investor/pengusaha dari kewajiban membayar pajak/retribusi daerah hanya berlaku pada nilai investasi diatas 1 milyar, sedangkan yang dibawah 1 milyar tidak berlaku, mereka tetap dibebankan kewajiban sebagaimana mestinya. Selanjutnya untuk perkara tergerusnya capaian PAD dalam jangka panjang maka pemerintah daerah secara bertahap harus merubah kiblat penerimaan PAD, ke wilayah yang tidak membebani pelaku usaha. Ikhtiar ini dapat dipertimbangkan diambil dengan skenario memaksimalkan rekening pendapatan lain-lain yang sah atau rekening bagi hasil laba Badan Usaha Milik Daerah.
Sekiranya rekayasa kebijakan ini diambil para kepala daerah, maka itu semakin memperteguh stigma postif di komunitas kalangan investor, pengusaha dan sejenisnya bahwa kepala daerah “wellcome” dengan keberadaan mereka. Yang terjadi kemudian, mereka dengan senang hati berlomba-lomnba menghamburkan investasinya di daerah, sekalipun bidang investasi yang dibidik hanya mengolah batu kalkopirit di kuala ongkak untuk dipoles menjadi batu akik yang mustahil itu terjadi. Sebagai penutup, semua yang berbuih-buih di paparkan tadi hanya dapat terwujud jika pemegang mandat rakyat cukup memiliki modal nyali yang kuat untuk menerabas keniscayaan yang telah turun temurun berlaku selama ini.
Tulisan ini dimuat di blog saya http://www.kabela-kabela.blogspot.com