Oleh: Sofyanto
(Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan, Hukum dan Ekonomi Terapan)
Rabu 12/8 Presiden Jokowi pun akhirnya melakukan penggantian dan penggeseran empat menteri kabinet kerja dan setingkat menteri. Setelah hampir setahun desakan untuk melakukan reshuffle kabinet kerja yang dipimpinnya terus diwacanakan, akhirnya siang itu harapan publik terjawab sudah lewat prosesi pelantikan Presiden Jokowi. Rizal Ramly adalah salah satu sosok yang dilantik Presiden Jokowi menempati Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya yang membawahi atas 6 kementerian.
Menariknya, baru sehari dilantik mantan aktivitis itu yang didaulat menjadi Menko Maritim mulai mengkritik, kali pertama Menteri BUMN Rini Suwarno menjadi sasaran kritikannya soal rencana pembelian 30 buah pesawat Airbus A350. Tak seminggu kemudian giliran Wakil Presiden Jusuf Kalla yang diajak duel terbuka, berdiskusi dan soal menyoal di depan umum
“Kalau mau paham, minta Pak Jusuf Kalla ketemu saya, Kita diskusi di depan umum,”.
Sekilas kegaduhan di jajaran kementerian kabinet kerja Jokowi-JK lewat adegan tantang menantang itu adalah barang aneh, lucu, diluar batas kewajaran dan sulit diterima akal sehat bagi penganut aliran status quo. Tidak pernah sekalipun dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia ada seorang menteri yang terang-terangan mengajak pimpinannya sendiri Wapres, untuk sahut-sahutan di depan publik. Jusuf kalla pun mangkir dan berkilah tidak etis untuk melayani ajakan diskusi terbuka itu. Wakil Presiden Jusuf Kalla mungkin salah satu tipikal pejabat negara yang alergi cerita super hero Robyn Hood, merampok harta orang kaya untuk diberikan ke yang miskin. Tujuannya sangat bagus dan mulia namun caranya dianggap menelikung pimpinan, sehingga dinilai tidak etis, ngawur, kotor dan mungkin menjijikkan.
Drama penggantian dan penggeseran menteri dan setingkat menteri yang seyogyanya untuk tujuan mengatasi kepungan masalah ekonomi Indonesia dua kuartal terakhir, tampaknya berada diambang titik kritis. Pasca sahut sahutan itu, dikhawatirkan kepercayaan publik pada pemerintah Jokowi-JK makin menipis, sehingga investor akan enggan berinvestasi, hengkang ke luar negeri dengan membawa serta sumber daya kapitalnya.
Memang hasil survey Lembaga Survei Indonesia yang dilansir di situs resminya menunjukkan tingkat kepercayaan public pada Jokowi-JK periode Januari 2015 turun 61,6 persen dibanding periode awal pelantikan Oktober 2014 yang mencapai 74.5 persen. Tergerusnya kepercayaan publik itu pada pemerintah di kuartal I itu dituding sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya perlambatan ekonomi Indonesia saat ini.
Kendati telah ada revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2015 oleh Bank Indonesia ke asumsi moderat dari angka 5,4 – 5,7 persen ke level 5 – 5,4 persen dengan hitung-hitungan yang lebih rasional, melihat fakta-fakta penyerapan anggaran pemerintah yang masih jongkok, fenomena impor yang terbilang masih tinggi. Namun hingga berakhirnya kuartal ke II wajah perekonomian Indonesia tidak kunjung membaik, muram bagai orang baru kecopetan.
Ihwal tekanan nilai kurs rupiah terhadap dollar yang terus bertahan di zona merah sebenarnya dipicu dua isu besar dua negara raksasa ekonomi dunia yakni wacana Bank Sentral Amerika (The Fed) yang berniat akan meningkatkan suku bunga acuan bank (Fed Rate) di Desember nanti serta adanya kebijakan pemerintah China menurunkan nilai mata uang yuan (devaluasi) guna meningkatkan ekspor dan cadangan devisa negaranya.
Dengan wacana The Fed menaikkan suku bunga acuan bank yang lebih tinggi itu serta mengingat kedigdayaan perekonomian Amerika menguasai 30 persen PDB dunia maka investor asing yang ada dalam bursa pasar modal Indonesia akan keluar mengejar imbal hasil menggiurkan yang ditawarkan oleh Bank Sentral Amerika. Tak berbeda dengan devaluasi mata uang Yuan China, kebijakan moneter negara terkuat kedua ekonominya di dunia ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kinerja ekspor negaranya yang lagi lesu. BPS mencatat sampai periode Juni 2015 nilai impor Indonesia dari negara China naik 11.63 persen dari Mei sebelumnya. Langkah pemerintah ini telah memukul kinerja eksport dalam negeri, geliat dan syahwat berinvestasi dalam negeri pun menurun dan itu turut diperparah dengan rontoknya harga pasar komoditi dunia.
Menilik pada dua pokok perkara sebab pelemahan rupiah itu yang berimbas pada perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka jelaslah faktor kegaduhan bukan penyebab kurang kinclongnya perekonomian Indonesia saat ini. Kalau kegaduhan itu dimaknai huru-hara seperti sejarah kelam tahun 1998 maka tak terelakkan sudah pasti membuat ekonomi Indonesia bakal menukik tajam layaknya pesawat Trigana Air di pegunungan Bintang Papua, hancur berkeping.
Namun lain soal, kalau kegaduhan itu hanya sebuah adu mulut dalam diskusi yang sebetulnya lebih mirip ke cakar-cakaran anak TK memperebutkan mainan, irasional dan sangat mengada-ada konstruksi logika kegaduhan menyebabkan perlambatan ekonomi Indonesia saat ini. saya berkeyakinan jika diskusi itu terjadi, investor akan beramai-ramai menghadiri acara yang terbilang spetakuler itu, mendengar secara seksama semua bual-bual, ide-ide yang beterbangan dalam ruang diskusi itu.
Sebenarnya ajakan berdiskusi terbuka yang dilontarkan Rizal Ramly ke Wakil Presiden Jusuf Kalla, hal yang biasa-biasa saja. Berdiskusi depan khalayak ramai dengan model panelis bertema konsep-konsep kemaslahatan rakyat Indonesia justru sangat indah dan baik dilakukan. Apalagi jika konsep yang dibicarakan menjadi ranah kebijakan publik, maka sungguh tepat dibicarakan di depan publik. Bukankah berpikir banyak kepala akan lebih baik hasilnya ketimbang berpikir dengan segelintir kepala.
Menjadi luar biasa dan menjadi fenomena menakjubkan ajakan diskusi itu tersebab belum pernah dilakukan sejauh 70 tahun republik ini berdiri. Kalaupun diskusi itu nantinya terjadi, giliran publik akan menghakimi pemerintahan Jokowi-JK dengan berbagai atribut negatif, tidak kompak, tidak solid lagi. Memang pilihan dilematis!!
Kendati kegaduhan-kegaduhan itu selalu menghiasi wajah pemerintahan presiden Jokowi di berbagai event dan lembaga negara namun sejauh ini sentiment negatif dalam bursa pasar modal tidak agresif. Fakta sesungguhnya kelesuan ekonomi globallah sebagai faktor utama masih melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, karena itulah konsekuensi yang harus dipikul system ekonomi terbuka dengan kecenderungan impor yang tinggi.
Kalau begitu untuk apa Presiden Jokowi repot-repot harus melarang kritik Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramly diumbar ke ruang publik, anggap saja sebagai forum rapat akbar pemerintah dan rakyat Indonesia agar ini menjadi momentum titik balik popularitas Presiden Jokowi yang saat ini lagi meredup. Akhirnya, patut disadari ditengah balutan persoalan ekonomi yang tak habis-habisnya seyogyanya para pejabat negara/daerah perlu lebih banyak lagi melakukan diskusi di ruang publik, Ketimbang harus berpikir mencari solusi dengan jalan pikiran sendiri yang belum tentu benar. Karena rakyat jualah yang akan merasakan akibat dari suatu keputusan yang keliru sekalipun itu ditempuh melalui tahapan yang formal dan diklaim paling benar. (**)