TOTABUAN.CO POLITIK – Komisi V DPR RI menggelar rapat kerja perdana dengan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Rapat dengar pendapat tersebut dipimpin Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Ridwan Bae di ruang Komisi V Selasa 19 November 2019.
Hadir pada rapat dengar pendapat itu Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar, Wamendes PDTT Budi Arie Setiadi, dan juga seluruh jajaran eselon I Kemendes PDTT.
Raker perdana itu membahas tiga poin utama, yakni penyampaian rencana strategis (renstra) dan program kerja lima tahun ke depan, evaluasi pelaksanaan anggaran 2019, dan membahas program legislasi nasional (prolegnas).
Rapat dimulai pada pukul 10.20 WIB yang dimulai dengan perkenalan anggota Komisi V DPR RI dan juga jajaran Kemendes PDTT.
Anggota Komisi V dari fraksi PDI Perjuangan Hi Herson Mayulu menyoroti beberapa point terkait pengelolaan Dana Desa.
Kader PDI Perjuangan Dapil Sulawesi Utara (Sulut) ini menilai, penyaluran Dana Desa urang efektif karena dilakukan tiga tahap. “Sebaiknya dilakukan dua tahap saja,” ucap Herson di hadapan Menteri PDTT dan jajarannya.
Menurutnya, penyaluran dana desa tiga tahap sangat menyulitkan para kepala desa saja. Selama tujuh tahun menjabat Bupati, tahapan penyaluran dana desa para kepala desa selalu disibukan dengan Spj.
Selain itu pengendalian Dana Desa dengan menggunakan aplikasi Sipede dan Siskeudes juga menyulitkan, para kepala desa. “Kementrian PDTT jua harus respon soal ini. Karena banyak kualitas SDM para kepala desa masih bingung dengan banyaknya aplikasi yang diterapkan.
Hal yang paling disoroti mantan Bupati Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan ini, yakni perektrumen pendamping desa. Dia menegaskan, banyak tenaga pendamping desa tidak memiliki keahlian. Hadirnya para pendamping desa indentik dengan mengirim data saja tidak memberikan efek bagi kemauan desa.
“Sudah saatnya tenaga pendamping desa itu memiliki sertifikasi keahlian,” kata Herson.
Menurutnya, PDTT harus melakukan pemetaan dan analisis kebutuhan pendamping. Sebab kebanyakan pendamping desa tertumpuk di satu wilayah hanya karena persoalan beda pilihan politik. (*)