TOTABUAN.CO — Pembantaian di Maguindanao pada 2009 selalu muncul setiap kali membahas kekerasan terhadap wartawan di Filipina. Pada 23 November lima tahun yang lalu, 58 warga sipil, di antaranya 32 personel media, dibantai di daerah terpencil dari Selatan Filipina.
Pembantaian tersebut merupakan serangan terburuk yang pernah terjadi terhadap wartawan di Filipina. Pengamat menilai pembunuhan itu merupakan hal di luar keumuman (outlier), karena wartawan tidak benar-benar menjadi sasaran penyergapan namun “collateral damage” yang malang. Mereka juga dibunuh secara bersamaan dalam satu rombongan.
Sebagaimana informasi yang saya peroleh, pembunuhan terhadap wartawan yang umum terjadi di Filipina seperti yang terjadi pada Nestor Bedolido, yaitu wartawan terlebih dulu dijadikan target, kemudian ditembak mati.
Pada saat pembunuhan Nestor itu, Digos sebelumnya sudah menjadi saksi dua pembunuhan terhadap jurnalis yang kemudian dianggap sebagai pembunuhan yang terkait dengan pekerjaannya. Dominador Bentulan ditembak mati pada 1998 dan Armando Pace pada 2006, keduanya adalah penyiar radio.
Nestor Bedolido adalah seorang praktisi persuratkabaran. Pada saat kematiannya di usia 50, Nestor merupakan penerbit Mt. Apo Current sekaligus konsultan editorial dan kolumnis tabloid mingguan Kastigador. Sebelumnya, dia adalah redaktur majalah mingguan Digos Times.
Namun, polisi di Davao del Sur memberitahu CMFR bahwa Nestor bukanlah praktisi jurnalis. Nampaknya, hal ini karena Mt. Apo Current dikaitkan dengan politisi lokal Claude Bautista. Nestor juga bekerja sebagai seorang public relation selama pemilihan umum di tingkat lokal.
Sementara itu, Digos Times ternyata dimiliki oleh Douglas Cagas, yang saat itu merupakan gubernur pertahanan. Di mata polisi, Nestor hanyalah seorang “propagandist”.
Namun para praktisi media di Davao del Sur memiliki sikap yang berbeda. Salah satu di antaranya adalah mantan rekan Nestor di Kastigador yang mengatakan bahwa sang redaktur editor terbunuh memang bekerja untuk kampanye Bautista dalam Pemilu 2010.
Menurutnya, kematian Nestor bisa ditelusuri ke paparan kritis yang dia lakukan terhadap “politisi lokal”.
Alan Nawal, kepala biro nasional Philippine Daily Inquirer, di Kota Davao, ketika saya wawancarai di kota ini juga mengatakan: “Bagi saya sendiri, Nestor tewas karena tulisannya. Selama bekerja di Kastigador, dia mulai menulis arikel yang kritis terhadap Cagas. Setiap kali Kastigador tampil dengan isu, Anda bisa yakin salah satu artikel tulisan dia mengenai Cagas.”
Bahwa Nestor memiliki banyak kisah kebusukan Cagas tidaklah mengherankan, karena dia sebelumnya pernah bekerja di Digos Times, kata Nawal. Adapun kemungkinan bahwa serangan Nestor terhadap Cagas telah dihasut oleh Bautista, saingan Cagas.
Nawal berkomentar, “Tidak ada yang bisa membuktikan, dan hanya Nestor bisa mengatakan bahwa pada waktu itu dia bekerja untuk Bautista. Tidak ada jejak di atas kertas, dan dia tidak menandatangani apa pun yang menunjukkan bahwa dia menerima sejumlah uang dari Bautista.”
sumber : okezone.com