Tak ada gading yang tak retak, tidak juga bisa disebut nabi atau sunan kalau tidak belajar dari kesalahan manusia sebagai fitrahnya.
Sosok bang Katamsi Ginano dari kebanyakan orang yang mengenalnya, seolah tanpa batas bebas menghujami orang-orang tertentu yang dia pikir sudah bertindak semena-mena terhadap banyak orang. Awalnya saya pikir itu baik sebagai kontrol sosial, tapi bagaimana kalau ujung-ujungnya ada motiv busuk juga.
Meneruskan lagi dari sepenggal isi dari tulisan pertama saya dapat diartikan bisa saja bang Katamsi simpulkan menerima atau menolak tantangan saya. Bisa juga bang Katamsi memilih diam tak menggubrisnya. Tapi setidaknya, saya yang hanya warga biasa tinggal di belakang lorong dari rumah bang Katamsi di Mogolaing, ingin memastikan sejauh mana konsistensi kekritisan bang Katamsi di kepemimpinan Tatong Bara-Jainudin Damopolii. Saya saja yang masih pemula bisa melihat siapa dan apa peran-peran dari para aktor di pemenangan Tatong Bara. Saya heran, kenapa sekaliber bang Katamsi hanya jadi orang latah yang ikut-ikutan berpesta pora dan tertawa terbahak-bahak sampai terjungkir balik dari kursinya menyaksikan kekalahan incumbent Djelantik Mokodompit. Saya tidak membela Djelantik, malah sebaliknya, bersama dengan kawan-kawan seprofesi, saya sangat getol mengkritisi kepemimpinan Djelantik. Termasuk tragedi pemukulan mahasiswa di kampus UDK oleh sejumlah oknum preman peliharaan penguasa saat itu.
Dari sejumlah rentetan catatan bang Katamsi sebelum dan pasca Pilwako KK baru-baru ini, terimplisit dari semua tokoh politik di Bolmong raya yang dia caci maki habis-habisan, hanya Tatong Bara-Jainudin Damopolii-lah yang menurutnya nyaris tanpa cacat. Dia menggantikan figur lain dan kemudian menempatkan Tatong Bara sebagai jawaban atas segala problematika yang terjadi di Kotamobagu. Tapi Eits.. tunggu dulu bro..
Buktikan dulu kemampuan Tatong-Jainudin menciptakan perubahan yang jauh lebih dari baik dari pendahulunya. Tatong Bara saya nilai tidak hebat-hebat amat, malah dia yang menciptakan kubu-kubu peta konflik horisontal. Bang Katamsi tahu, orang-orang yang tinggal di kompleks rumah bang Katamsi juga kena imbasnya. Mereka nyaris adu jotos karena saling mengejek para jagoannya. Katamsi yang mendewikan Tatong Bara hendaknya mengingatkan kepadanya belajarlah pada Depri Pontoh, Yani Tuuk dan Medy Lensun yang tidak mengedepankan ego politiknya. Mereka ini sebenarnya tidak kalah jauh mampu menciptakan kegaduhan dan perpecahan di daerahnya. Toh bang Katamsi tidak melakukan itu.
Satu lagi yang tidak habis pikir, saya yang hanya punya sisa darah keturunan Mongondow tergetir hati nurani saya melihat kecongkakan bang Katamsi yang kelewat akal sehat. Saya yang ‘buta’ bahasa Mongondow tapi punya keyakinan ke-Mongondow-an yang tidak seperti apa yang selama ini diyakini bang Katamsi. Apakah gaya bang Katamsi seperti ini diklaim dilakukan kebanyakan orang Mongondow? Apakah ini yang dimaksud pembelajaran pendidikan kepada orang-orang Mongondow? Lantas pembelajaran seperti apa yang Anda maksud? Mencibir, menindas dan menginjak-injak orang yang sudah tidak berdaya? Apakah seperti itu ajaran yang diturunkan dari nenek moyang orang-orang Mongodow? Atau mungkin bang Katamsi sendiri yang punya ‘kelainan’ dari kebanyakan orang???
Dipertengahan catatan pertama saya juga bang Katamsi agaknya tidak mampu menjawab atau pura-pura tidak tahu tentang keraguan saya soal independensi bang Katamsi yang dalam tulisannya turut ‘mengeroyok habis’ Djelantik Mokodompit KO di Pilwako KK.
Kalau dikatakan catatan saya ini dinilai prematur -seperti yang dikatakan bang Parman Ginano, yang tidak lain adik kandungnya bang Katamsi Ginano lewat pesan BBM-nya yang dikirim ke kawan saya- justru sebaliknya. Akan saya tegaskan disini, Dengan Sadar Diri pemikiran ini saya lahirkan. Dan atas dasar kekhawatiran saya sebagai warga Kotamobagu, jangan sampai orang yang serba berlebihan ini telah mentuhankan diri dan semena-menana melontarkan sumpah serapahnya pada orang-orang yang dia dzholimi.
Catatan ini juga bukan lahir dari benih profesi saya sebagai pekerja pers. Jangan berhenti kalau hanya sekedar basa-basi tidak merasa nyaman dengan rekan wartawan karena rajin mengkritisi para pejabat. Itu bukan alasan saya menantang bang Katamsi. Dan tidak salah saya mengatasnamakan warga Mogolaing yang juga memiliki hak untuk berdiri dimimbar suara.
Entah atas inisiatif sendiri bang Parma sebagai adik kandung Bang Katamsi yang merasa bisa lebih mengerti untuk mendefenisikan apa yang dimaksud oleh abangnya itu kepada saya lewat kawan seprofesi saya itu. Tapi saya melihat ada keanehan, bang Katamsi yang sudah tidak sadar diri telah mentuhankan dirinya sendiri itu, lantas menyuruh adiknya sebagai utusan menyampaikan firmannya. Wah..lebih hebat betul bang Katamsi ini…salut..salut..salut lagi saya sematkan.
Berangkat dari itu semua, saya yang mengawali tantangani ini dengan rasa hormat saya yang setinggi-tinggi dan seagung-agunggnya pada bang Katamsi, lebih dahulu membuka lembaran pertama duel kita ini.
(Faisal Manoppo warga Mogolaing)