TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU — Harapan para Sangadi (kepala desa) di Kotamobagu pupus sudah. Dana yang mereka kumpulkan dari anggaran desa untuk mengikuti Bimbingan Teknis (Bimtek) di Bandung tak pernah kembali. Kegiatan yang semestinya menjadi ajang peningkatan kapasitas aparatur desa itu justru berubah menjadi mimpi buruk.
Lebih dari satu tahun mereka menunggu kabar kepastian. Namun yang datang hanyalah desas-desus dan saling lempar tanggung jawab. Di balik kisah ini, ada nama yang disebut-sebut sebagai biang kerok yakni Oknum Kadis PMD TM dan RK staf di dinas tersebut.
Bulan berganti bulan. Bimtek yang dijanjikan tak kunjung digelar. Sangadi-sangadi mulai gelisah, apalagi dana yang digunakan adalah bagian dari tanggung jawab administrasi desa. Setahun berlalu, dan mereka justru dihadapkan pada tuntutan laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran.
“Sekarang kami yang disuruh bertanggung jawab. Tapi uangnya ke mana? Kami harus ambil dari mana?” ungkap salah satu Sangadi yang enggan disebutkan namanya.
Nominal yang disetor tak sedikit. Jika dikalkulasi, total dana yang terkumpul dari sejumlah desa mencapai ratusan juta rupiah. Tak hanya sekadar kerugian materi, kasus ini juga mengganggu jalannya administrasi dan kepercayaan masyarakat desa terhadap pemerintah.
Kasus ini tak hanya mencoreng nama baik Dinas PMD, tetapi juga membuka luka kepercayaan antara pemerintah desa dan institusi di atasnya. Para Sangadi hanya ingin satu hal: dana desa yang sudah disetor dikembalikan.
“Ini bukan uang pribadi. Ini uang negara. Kami hanya ingin keadilan dan kepastian,” tegas mereka.
Kini, bola panas ada di tangan aparat penegak hukum dan pemerintah daerah. Apakah kasus ini akan menjadi pelajaran bagi sistem birokrasi yang lebih bersih? Ataukah hanya akan menjadi kisah tragis.
Meski sudah ditangkap, kegeraman para Sangadi belum mereda. Mereka mempertanyakan proses hukum yang dinilai berjalan lamban. Hingga kini, belum ada kepastian mengenai pengembalian dana, dan RK disebut masih terlihat bebas tanpa beban.
“Dia jalan-jalan saja seperti tidak bersalah. Sementara kami di desa harus pusing cari jawaban,” kata seorang Sangadi lainnya.(*)