TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU–Gaung pertanian organik di kotamobagu tampaknya makin meredup saja dan dipastikan akan berakhir anti klimaks. Pasalnya misi ketiga Wali Kota Kotamobagu Tatong Bara ini kurang dapat dijabarkan dalam program kerja SKPD.
Sejumlah permasalahan yang terungkap di workshop yang diselenggarakan BP4K beberapa waktu lalu bertempat di aula Dinas Pertanian, Perikanan, Perkebunan dan Kehutanan, salah satunya adalah menyangkut soal pemasaran komoditi organik.
“Hingga saat ini belum ada akses pasar yang siap menampung komoditi organic dari petani, begitu kata papa adi selaku ketua kelompok tani kelurahan Sinindian Permasalahan ini seharusnya perlu di cari solusinya oleh pemerintah kota kotamobagu,” ujar Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan, Hukum dan Ekonomi Terapan, Sofyanto saat di wawancarai di warung kopi jarod Senin, (14/12).
Ia mengatakan perlu bagi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kotamobagu untuk melakukan penataan sejumlah pasar yang ada di wilayah Kotamobagu dengan memberikan pemisahan tempat antara komoditi yang organik dan non organik.
Satu hal yang tak kalah pentingnya dalam rangka membuka akses pasar komoditi organik dari tingkat petani adalah pemerintah Kota Kotamobagu perlu menggelar event festival pangan organik, ujar Sofyanto.
Dimana dalam acara tersebut akan ada temu usaha yang menjembatani pihak penjual dan pembeli.
Senada dari pernyataan itu, penggiat pertanian organik Hendra Makalalag mengungkapkan, bahwa sertifikasi komoditi kopi organik asal Desa Bilalang II yang berhasil didapatkan pemerintah Kota Kotamobagu beberapa waktu lalu, akan sia-sia jika tidak ada ikhtiar meningkatkan akses pemasaran komoditi organic tersebut.
“Dengan stok kopi organik 172 ton/tahun, maka akan sangat tidak mungkin hanya di tampung dalam pasar lokal Kotamobagu dan sekitarnya,” tutur Hendra.
Solusi cerdas akan masalah ini adalah membangun kerjasama dengan pihak pengusaha utamanya pengusaha nasional selaku penampung komoditi organik, tandasnya. (Rez)