TOTABUAN.CO KOTAMOAGU — Sudah sejak lama warga yang ada di Desa Moyag di Kecamatan Kotamobagu Timur, terkenal sebagai sentra produksi gula merah batok terbesar di Bolaang Mongondow Raya (BMR). Meski di beberapa desa di Kota Kotamobagu ada yang memproduksi gula merah batok, namun di Desa Moyag proses pembuatannya masih bertahan dengan cara tradisional.
Santoso Mamonto (33), misalnya. Satu di antara petani Moyag yang menggeluti usaha pembuatan gula merah batok meungungkapkan usaha pembuatan gula merah batok inipun dilakukan turun-temurun.
Kendati ada yang usahanya mandek karena terbentur modal, namun masih lebih banyak yang berhasil. Bahkan sampai ada yang mampu menyekolahkan anak mereka hingga meraih gelar sarjana, berkat usaha pembuatan gula merah batok.
Saat ditemui di tempat pembuatan gula merahnya, Santoso bercerita, dirinya menggeluti usaha tersebut dari warisan orangtuanya.
“Bukan hanya saya sendiri yang menggeluti usaha ini, atas warisan orangtua. Tapi ada pula beberapa teman sesama petani, juga menekuni ini karena meneruskan usaha orang tua,” katanya.
Menurut Santoso, gula merah yang dihasilkan pohon aren memiliki cita rasa yang khas. Selain bentuk potongan yang normal dari gula kebanyakan, dan setiap hari air nira sebagai bahan bakunya disadap tanpa perlu khawatir kehabisan
Ia mengungkapkan bahwa gula aren hasil olahannya dipasarkan di Kotamobagu dengan yang disesuaikan dengan ukurannya. “Ada yang harga Rp10 ribu, ada juga Rp15 ribu per buah,” pungkasnya.
Selain itu wilayah pemasaran gula merah batok khas Moyag ini bahkan sudah merambah hingga keluar wilayah BMR. Seperti, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Tomohon, bahkan sampai Bitung dan Manado.
Selain Santoso, petani gula merah Mawardi Mamonto mengatakan, usaha pembuatan gula merah batok di desa mereka terbilang masih sangat tradisional. Dia menceritakan sejak masih berumur 7 Tahun sampai sekarang, tidak ada perubahan sama sekali. Terutama, aspek perlengkapan memasak sampai alat cetak yang dipakai untuk membuat gula merah batok, tuturnya.
Dari perlengkapan memasak, misalnya semua masih mengunakan peralaran tradisional. Yakni tungku dengan sumber api dari kayu bakar dengan cetakan, masih memakai tempurung.
“Kalau Pemerintah Kota (Pemkot) jeli dan mau membantu mengembangkan usaha gula merah para petani Moyag, semestinya bisa diberikan bantuan berupa perlengkapan masak yang lebih modern,” tuturnya.
“Begitu pula dengan alat cetak. Pemerintah bisa memberikan bantuan berupa alat cetak yang lebih modern, supaya gula merah yang dihasilkan dapat seragam bentuk, ukuran maupun beratnya. Kalau pakai tempurung kan belum tentu berat dan ukurannya sama,” tambah Mawar.
Selain itu Mawar mengatakan, Pemkot dapat pula membantu memberikan mesin kemasan untuk setiap gula merah batok yang diproduksi warga Moyag.
“Sama seperti ketika Pemkot membantu pengusaha kacang goyang Moyag, berupa mesin kemasan. Kiranya, gula merah batok asal Moyag juga dapat diberikan bantuan mesin kemasan,” sebut Mawardi.
Dengan hasil cetakan yang sama serta dikemas lebih baik, tentunya gula merah batok Moyag bisa menembus pasar modern. Seperti, Indomaret, Alfamart ataupun pasar-pasar modern lainnya.
“Saya pernah melihat ada gula merah batok dengan ukuran tertentu dan terdapat dalam sebuah kemasan rapi, dipasarkan di pasar modern. Bahkan pada kemasannya, tercantum label dari mana asal gula merah batok itu,” ungkapnya.
Penulis: Hasdy