TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU—Pemerintah menargetkan pada 2019 mendatang seluruh kabupaten kota yang ada di Indonesia bebas kawasan kumuh. Di mana sebagian masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah dianggap sebagai sumber ketidakteraturan dan ketidakpatuhan terhadap norma sosial.
Hal itu terkuak pada sosialisasi program kota tanpa kumuh (KOTAKU) yang dibuka Wali Kota Kotamobagu Tatong Bara di ruang pertemuan Hotel Sutan Raja Kamis(20/10/2016).
Dalam paparan yang dikemukan Fasilitator Faskel Program Kotaku Frangky Van Pamelem selaku konsultas koordinator kota menjelaskan, kawasan kumuh sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya.
Dampak langsung dari adanya permukiman kumuh dalam hal keruangan yaitu adanya penurunan kualitas lingkungan fisik maupun sosial permukiman yang berakibat semakin rendahnya mutu lingkungan sebagai tempat tinggal.
“Ada delapan kawasan di Kota Kotamobagu yang ditetapkan sebagai kawasan kumuh oleh Pemkot. Ini harus segera diantisipasi agar dampak yang ditimbulkan tidak akan lebih besar seperti kota-kota lainnya di pulau Jawa,” kata Frangky saat pemaparan.
Ia mencontohkan, lingkungan permukiman kumuh yang ada di salah satu kawasan di Kotamobagu memperlihatkan kondisi kualitas lingkungan yang semakin menurun. Termasuk fasilitas umum yang kondisinya dari tahun ke tahun semakin berkurang atau bahkan sudah tidak memadai lagi.
Selain itu sanitasi lingkungan yang semakin menurun, hal ini dicerminkan dengan tingginya wabah penyakit serta tingginya frekwensi wabah penyakit yang terjadi, umumnya adalah DB (demam berdarah), diare, dart penyakit kulit.
“Pada sebagian besar pemukim permukiman kumuh mengakibatkan dampak pada pemanfaatan ruang yang sangat semrawut di dalam rumah, untuk menampung penambahan jumlah anggota keluarga maka dibuat penambahan-penambahan ruang serta bangunan yang asal jadi, akibatnya kondisi rumah secara fisik semakin terlihat acak-acakan,” tuturnya.
Penduduk di permukiman kumuh tersebut memiliki persamaan, terutama dari segi latar belakang sosial ekonomi-pendidikan yang rendah, keahlian terbatas dan kemampuan adaptasi lingkungan yang kurang memadai. Kondisi kualitas kehidupan yang serba marjinal ini ternyata mengakibatkan semakin banyaknya penyimpangan perilaku penduduk penghuninya.
“Tapi untuk Kotamobagu belum sampai ke arah itu karena masih bisa diatasi. Akan tetapi jika ini dibiarkan dampaknya akan sangat luas,” tambah Frangky.
Ia berharap masyarakat harus ikut dilibatkan dalam mengatasi permukiman kumuh di perkotaan. Karena orang yang tinggal di kawasan kumuhlah yang tahu benar apa yang menjadi masalah, termasuk solusinya.
“Jika masyarakat dilibatkan, persoalan mengenai permukiman kumuh bisa segera diselesaikan. Melalui kontribusi masukan dari masyarakat maka akan diketahui secara persis instrumen dan kebijakan yang paling tepat dan dibutuhkan dalam mengatasi permukiman kumuh,” tuturnya.
Wali Kota Kotamobagu Tatong Bara mengatakan, permukiman kumuh tidak dapat diatasi dengan pembangunan fisik semata, tetapi yang lebih penting mengubah prilaku dan budaya dari masyarakat di kawasan kumuh.
“Jadi masyarakat juga harus menjaga lingkungannya agar tetap bersih, rapi, teratur dan indah. Sehingga akan tercipta lingkungan yang nyaman, tertip, dan asri,” kata Wali Kota. (Mg2)