TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU — Polemik dugaan malpraktik medis yang sempat menyebar luas di ruang publik akhirnya menemukan titik terang. Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Kasih Fatimah Kotamobagu secara terbuka menyampaikan klarifikasi menyeluruh, disertai pijakan hukum dan bukti etik medis, yang menyatakan bahwa tuduhan terhadap dokter spesialis kandungannya, dr. Sitti Nariman Korompot, SpOG, Subsp. OBGINSOS, MARS, tidak terbukti.
Kasus ini sebelumnya ramai di media sosial dan forum publik, memunculkan spekulasi tanpa referensi resmi. Nama dokter Sitti bahkan menjadi sorotan emosional, memantik perdebatan tentang kompetensi, etik profesi, hingga tuduhan malpraktik. Namun pihak rumah sakit kini memastikan bahwa prosedur telah diuji oleh lembaga resmi tertinggi penilai disiplin kedokteran.
Kuasa hukum RSIA Kasih Fatimah, Ronal Wuisan menerangkan bahwa pihaknya sejak awal memilih tidak memberikan komentar yang bersifat spekulatif. Mereka menunggu keputusan Majelis Disiplin Profesi (MDP) lembaga yang secara hukum memiliki kewenangan memeriksa dugaan pelanggaran disiplin tenaga medis.
Menurut Ronal, pemeriksaan MDP telah berlangsung melalui serangkaian proses pengumpulan dokumen medis, audit prosedural, pemanggilan ahli, serta keterangan kedua belah pihak. Putusan resmi akhirnya dibacakan pada Rabu, 17 Desember 2025, pukul 08.00 WIB.
Hasilnya menyatakan, tindakan medis dan operatif telah sesuai standar profesi dan standar pelayanan. Seluruh prosedur memenuhi SOP rumah sakit dan etika kedokteran. Tidak terdapat pelanggaran disiplin tenaga kesehatan.
“Putusan ini menyatakan dengan lugas, tuduhan malpraktik tidak dapat dibenarkan dan tidak memiliki dasar etik maupun hukum,” tegas Ronal.
Ia menambahkan, status putusan MDP bukan opini, melainkan penilaian resmi yang mengikat secara etik profesi.
Ronal juga menyinggung miskonsepsi publik mengenai hasil pelayanan medis. Dalam dunia kedokteran terdapat prinsip inspanningverbintenis, yakni kewajiban dokter melakukan upaya maksimal dan profesional namun tidak pernah menjamin hasil akhir.
“Ada standar ketat dalam tindakan medis, namun tubuh manusia memiliki variabel biologis yang tidak bisa dikunci hanya pada satu hasil,” jelasnya.
Fakta lain terungkap dalam persidangan etik, yakni pasien tidak melakukan kontrol lanjutan di RSIA Kasih Fatimah. Pasien pindah penanganan ke fasilitas lain tanpa koordinasi dengan operator utama. Selain itu pergantian penanganan medis semacam ini, menurut Rahmat, dapat memengaruhi evaluasi klinis.
“Perawatan lanjutan adalah bagian dari keseluruhan tindakan medis. Ketika proses itu terputus tanpa supervisi dokter yang menangani sejak awal, maka penilaian klinis akan berubah,” paparnya.
Pihaknya mengaku memahami keresahan masyarakat, namun menegaskan bahwa penilaian klinis tidak dapat dilakukan berdasarkan potongan cerita, rumor, atau opini emosional.
Ronal menegaskan pihak RSIA tidak sekali pun menutup diri terhadap pemeriksaan, bahkan sejak awal mengarahkan pengaduan ke jalur etik dan hukum resmi.
“Kami tidak menutup pintu kritik, tetapi keselamatan dan reputasi tenaga medis harus diputuskan oleh lembaga berwenang, bukan oleh linimasa,” ujarnya.
Dalam keterangan itu, Rahmat merujuk pada ketentuan dua undang-undang utama UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Kedua aturan ini menggariskan bahwa penilaian pelanggaran disiplin dokter tidak boleh dilakukan oleh individu, media sosial, maupun fasilitas kesehatan tanpa otoritas.
Ronal menyinggung pentingnya menjaga martabat dan reputasi tenaga medis. Tuduhan malpraktik bukan hanya soal administrasi hukum, tetapi menyangkut kepercayaan publik.
“Dokter adalah manusia yang mengabdikan hidupnya pada keselamatan pasien. Tuduhan tanpa bukti bukan hanya merusak reputasi, tetapi juga memengaruhi psikologis dan layanan publik,” katanya.
Menurutnya, RSIA mempertimbangkan upaya hukum lanjutan baik pidana maupun perdata jika tuduhan tanpa dasar merugikan nama baik dokter atau institusi. Namun langkah itu masih akan disikapi secara hati-hati.
Sementara itu, Ronal memastikan layanan RSIA tetap beroperasi normal. Standar mutu, akreditasi, hingga protokol keselamatan pasien berjalan sebagaimana mestinya.
Ronal menegaskan bahwa dr. Sitti Nariman tetap berpraktik sebagai dokter spesialis yang sah secara profesi, legalitas, dan kompetensi.
“Ini bukan sekadar pembelaan institusi, melainkan jaminan bahwa masyarakat dilayani oleh tenaga medis yang teruji,” ujarnya.
Ia mengimbau masyarakat agar berhati-hati menyikapi informasi kesehatan. Rumor yang dibagikan tanpa dasar medis dapat berakibat fatal bukan hanya pada reputasi profesional, tetapi juga pada keputusan pasien lain.
Pernyataan ini sekaligus menjadi penegasan mengenai komitmen transparansi RSIA Kasih Fatimah, menjaga kredibilitas layanan kesehatan, dan memastikan bahwa kepercayaan publik tidak dikendalikan oleh persepsi, tetapi oleh bukti.
“Hari ini putusan sudah keluar. Fakta sudah dibuka. Sekarang publik punya kejelasan,” tutup Ronal. (*)





