TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU – Hakim Pengadilan Negeri Kotamobagu terpaksa mengembalikan gugatan Nurhidja Kadengkang sebagai penggugat terkait proses pemecatan serta Pergantian Antar Waktu (PAW) Partai Amanat Nasional (PAN).
Sidang tersebut dipimpin Warsito SH sebagai Hakim Ketua dibantu dua hakim lainnya yakni Raja Bonar Wansi Serigar SH dan Friska Yustisari Maleke.
Perkara gugatan yang dilayangkan Mama Oting sapaan akrab Nurhidja Kadengkan itu bernomor 107/Pdt.G/2018/PN Ktg dengan pihak tergugat DPP PAN,DPW PAN, DPD PAN Kotamobagu, KPU Kotamobagu serta pimpinan DPRD Kotamobagu.
Humas Pengadilan Negeri Kotamobagu Raja Bonar Wansi Serigar SH, menjelaskan hasil putusan sidang menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Menurutnya gugatan yang dilayangkan oleh penggugat prematur.
“Majelis telah bermusyarawah bahwa gugatan dari penggugat belum dapat diterima. Dalam arti bahwa dikembalikan dulu ke Mahkamah Partai,” kata Bonar Kamis (16/1/2019).
Dia menjelaskan, Mahkamah Partai menjadi forum penyelesaian konflik internal parpol. Kekuatan putusannya bisa final dan mengikat, tetapi tetap terbuka peluang masuk pengadilan. Menurutnya gugatan baru bisa didaftarkan ke Pengadilan Negeri setelah Mahkamah Partai menjatuhkan putusan.
“Jadi bukan ditolak. Tapi dikembalikan dulu ke Mahkamah Partai. Setelah sudah ada putusan dari Mahkamah Partai, bisa diajukan gugatan,” jelasnya.
Diketahui gugatan Nurhidjah Kadengkang mengajukan gugatannya, karena merasa keberatan karena tidak diproses untuk pengisian PAW kursi DPRD yang kosong. Pihak PAN beralasan, karena Nurhidja sendiri sudah bukan lagi sebagai kader partai.
Bahkan dengan menilai sikap Nurhidja, DPP PAN mengeluarkan surat pemecatan atas dirinya karena dianggap bukan kader PAN.
Saat ini kursi yang seharusnya diisi oleh Nurhidja Kadengkang, akan diganti oleh Swengly Troy Manossoh.
Wajib lewat Mahkamah Partai
Dalam banyak putusan telah berkembang suatu yurisprudensi bahwa penyelesaian perselisihan partai politik harus diselesaikan lebih dahulu lewat Mahkamah Partai atau lembaga sejenis dengan nama lain. Salah satunya putusan MA No. 101K/Pdt.Sus-Parpol/2014. Seperti contoh perkara yakni perselisihan para pengurus PKNU di Jawa Timur. Perkara ini sampai ke Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung membatalkan putusan PN Bondowoso dan mengadili sendiri. Salah satu pertimbangan majelis kasasi adalah tidak digunakannya mekanisme Mahkamah Partai. “Terbukti penyelesaian melalui Mahkamah Partai politik belum dilaksanakan, maka sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (1) (UU Partai Politik –red) tidak dimungkinkan melakukan gugatan ke pengadilan,” begitu antara lain pertimbangan majelis.
Putusan majelis hakim disebabkan belum ada putusan melalui Mahkamah Partai, maka gugatan tersebut adalah premature.
Majelis hakim yang mengadili perselisihan partai politik harus melihat dulu apakah mekanisme Mahkamah Partai sudah ditempuh atau belum. Jika belum, hakim seharusnya menyatakan gugatan yang diajukan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, memperjelas lebih lanjut sikap pengadilan itu. “Penyelesaian sengketa parpol harus melalui Mahkamah Partai dulu.
Ia mengibaratkan putusan Mahkamah Partai seperti putusan arbitrase. Pihak yang tidak setuju dengan putusan arbitrase bisa mengajukan keberatan ke pengadilan negeri. Kalau tak puas juga dengan putusan pengadilan negeri, para pihak bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Pasal 32 ayat (5) UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik secara eksplisit menyebutkan putusan Mahkamah Partai politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Pasal ini juga yang dipakai Menkumham Yasonna Laoly untuk menerima hasil Munas Ancol Partai Golkar.
Penulis: Hasdy