TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU — Tak banyak yang membicarakan lagi peristiwa penggrebekan salah satu rumah di Kelurahan Kotobangun Kecamatan Kotamobagu Timur. Peristiwa penggrebekan yang sempat mengguncang ketenangan warga sekitar itu, terjadi pada Juni 2025 lalu.
Penggerebekan salah satu rumah itu, ternyata digunakan sebagai lokasi pembakaran karbon emas menggunakan bahan kimia berbahaya.
Waktu memang berlalu, tapi bau kimia menyengat yang sempat memenuhi udara selama tiga hari, tidak mudah dilupakan oleh warga sekitar. Begitu pula dengan asap putih keabu-abuan yang perlahan mengepul dari halaman belakang rumah itu menjadi tanda tanya besar apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Penggerebekan oleh jajaran Polres Kotamobagu kala itu bukan tanpa alasan. Warga mulai resah ketika aroma kimia yang menyengat tercium di udara, menyebar pelan tapi pasti. Selama tiga hari, warga mengeluhkan akibat asap bercampur bahan kimia. Asap berasal dari satu rumah yang tampak biasa dari luar, namun ternyata menyimpan aktivitas yang tidak biasa.
Saat petugas akhirnya memasuki rumah tersebut, pemandangan mengejutkan langsung terlihat. Drum dan karung berisi karbon emas yang siap dibakar tampak berjejer. Tidak hanya itu, terdapat pula peralatan pembakaran dan indikasi kuat penggunaan bahan kimia berbahaya seperti sianida atau merkuri zat yang lazim digunakan dalam proses ekstraksi emas namun sangat berbahaya jika tidak ditangani dengan prosedur yang tepat.
Yang membuat geger, rumah itu ternyata disewa oleh seorang Warga Negara Asing (WNA) asal Cina, yang diduga menjalankan aktivitas pertambangan emas secara ilegal di tengah pemukiman.
Setelah penggerebekan, lokasi tersebut langsung dipasangi garis polisi. Barang bukti 11 drum dan 7 karung karbon emas dibawa ke Mapolres Kotamobagu, dan kasusnya pun ditangani oleh Satreskrim Polres Kotamobagu di bawah satuan AKP Agus Sumandik saat itu.
Dalam pernyataannya, AKP Agus membenarkan adanya aktivitas ilegal. Ia menyebutkan bahwa kasus ini mengandung unsur tindak pidana pencemaran lingkungan yang serius. Hal ini mengacu pada Pasal 98 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang menyebut bahwa pelaku pencemaran lingkungan dapat dikenai hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.
Namun, seiring waktu, informasi mengenai perkembangan kasus ini mulai hilang dari ruang publik. Tidak ada kabar lanjutan soal status tersangka, barang bukti hingga keberadaan WNA tersebut.
Warga pun mulai bertanya, apakah proses hukum terus berjalan, ataukah ini akan menjadi satu dari sekian banyak kasus pencemaran lingkungan yang akhirnya menguap tanpa penyelesaian.
Aktivitas pengolahan emas secara ilegal di area pemukiman bukan hanya soal pelanggaran administrasi atau izin usaha. Ini adalah ancaman nyata terhadap kesehatan warga, keselamatan lingkungan, dan hak dasar untuk hidup dalam lingkungan yang bersih dan sehat.
Kasus pembakaran karbon emas di Kelurahan Kotobangun bukan hanya soal satu rumah dan beberapa drum karbon emas. Ini adalah cerminan dari lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dalam isu lingkungan hidup. Butuh keberanian, transparansi, dan ketegasan dari pihak berwenang untuk menuntaskan perkara ini secara terbuka.
Kasus yang mandek dan minim update ini memunculkan spekulasi di masyarakat, termasuk dugaan adanya “main mata”. Meski belum dapat dibuktikan secara langsung, namun ketertutupan informasi menjadi pemicu kecurigaan.
Karena penanganan kasus semestinya dilakukan secara transparan dan akuntabel, terutama jika menyangkut pelanggaran lingkungan dan keterlibatan warga negara asing. Ketertutupan justru membuka celah spekulasi dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. (*)