TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU —Aktivitas para cukong tambang ilegal di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) dan Kabaupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) sudah berlangsung lama. Bahkan dua daerah ini jadi sasaran mafia solar bersubsidi untuk kegiatan tambag berskala besar.
Penyalahgunaan solar bersubsidi merupakan tindak pidana yang merugikan negara. Aturan terkait penyalahgunaan solar Pasal 55 Undang-Undang RI No 22 tahun 2021 tentang minyak dan gas bumi, Pasal 94 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi.
Namun diduga sejumlah SPBU di Kotamobagu tidak gentar karena mereka merasa di lindungi para oknum aparat.
Modus yang digunakan untuk pembelian solar bersubsidi, yakni dengan menggunakan mobil dengan tangki yang sudah dimodifikasi. Tidak dalam ukuran kecil, tapi sekali masuk SPBU, bisa tampung solar ratusan liter.
“Setelah didapat dari SPBU, biasanya dubawa ke rumah dan ditampung
dan dipasok sesuai pesanan,” ucap
Solar bersubsidi ini, diperuntukan bagi masyarakat miskin. Namun praktik dilapangan, dipasok ke cukong-cukong yang nengelolah tambang ilegal berskala besar.
Kegiatan ini sudah berlangsung lama. Tidak heran, jika aktivitas tambang ilegal dengan menggunakan alat berat di dua daerah terus menjamur.
Pasal 55 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengatur tentang ancaman pidana bagi pelaku penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Bunyi Pasal 55 UU Nomor 22 Tahun 2001 adalah: Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga BBM yang disubsidi pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun penjara.
Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga BBM yang disubsidi pemerintah dipidana dengan denda paling tinggi Rp60 miliar. Jika pelaku tidak sanggup membayar denda, maka ia dapat diganti dengan kurungan penjara.
Penyalahgunaan oleh penambang emas ilegal menjadi ironi di tengah kelangkaan solar bersubsidi. Semestinya aparat penegak hukum bisa menindak para pengepul solar bersubsidi yang digunakan untuk aktivitas tambang ilegal itu.
Diperketatnya pengawasan dalam praktik penimbunan solar bersubsidi dan penindakan terhadap pelaku penimbun, tentu dapat mengendalikan aktivitas pelaku tambang ilegal. Sebab, hampir semua ekskavator dan mesin pompa air diesel di lokasi tambang, menggunakan bahan bakar solar bersubsidi. Jika rantai penyalahgunaan solar bersubsidi terputus, maka aktivitas tambang ilegal tidak akan beroperasi.
Kelangkaan solar subsidi yang terus berlangsung bukan hanya soal pasokan, tetapi juga kegagalan sistem. Antrean panjang truk, nelayan, dan petani yang kesulitan mendapatkan solar, justru dimanfaatkan untuk kepentingan para cukong. (*)