TOTABUAN.CO – Kementerian Luar Negeri memastikan Lembaga PBB untuk Masalah Pengungsi (UNHCR) akan mencari negara yang bersedia menampung pengungsi Rohingya di Aceh. Ratusan pengungsi ini datang ke Indonesia Mei lalu.
Dijelaskan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanantha Nasir pencarian itu tidak mudah. Pasalnya, negara-negara yang biasa menampung pengungsi seperti di Eropa saat ini tengah menghadapi masalah yang sama.
“UNHCR berbicara pada kita mereka terus berusaha mempercepat proses, namun mereka saat ini dibatasi dengan mencari destinasi” ucap pria yang kerap disapa Tata ini di Nusa Dua, Bali.
“Berbagai perkembangan di Eropa yang menjadi tempat penampungan sekrang merejka menghadapi masalah tetapi mereka tetap akan berusaha,” sebut Tata.
Tata mengatakan, saat ini masalah membanjirnya pengungsi di Eropa merupakan persoalan besar di benua tersebut. Bahkan, persoalan ini lebih parah dari wilayah-wilayah lain yang terdampak persoalan serupa.
“Keadaan masalah irreguler movement sekarang itu yang lebih parah di Eropa dan Timur Tengah. Di kawasan ini, saat ini dibanding tahun sebelumnya masih lebih manageable dari pada yang ada di Eropa,” paparnya.
Walau begitu pemerintah percaya, UNHCR tak akan melepas tanggung jawabnya mencari negara yang bersedia menampung pengungsi. Bahkan, pemerintah tak perlu membantu UNHCR menemukan negara tersebut.
“Justru mereka akan berusaha untuk segera menyelesaikan mencari tempat bagi yang 300 yang ada di Indonesia. Sedang diusahakan secepatnya,” ujar Tata.
Datangnya pengungsi Rohingya di Aceh diketahui Nelayan di perairan Langsa, bagian timur Provinsi Aceh. Mereka menemukan sekitar 700 imigran etnis Rohingya dari Myanmmar dan Bangladesh terdampar di perairan sekitar pada Jumat 15 Mei 2015 pagi.
Ini adalah kali kedua nelayan-nelayan bertemu pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di lautan. Kelompok imigran ini pertama kali terdampar di perairan Aceh pada Minggu 10 Mei.
Pengungsi Rohingya merupakan salah satu masalah kemanusian yang paling disorot dunia saat ini. Sebab Myanmar tempat penduduk Rohingya tinggal, menolak memberi kewarganegaraan bagi etnis tersebut.
Pada Juni dan Oktober 2012, kerusuhan bernuansa etnis pecah di negara bagian Rakhine, Myanmar. Puluhan ribu warga Rohingya kemudian meninggalkan wilayah mereka. Kekerasan etnis ini menewaskan ratusan orang dan membuat 140 ribu warga minoritas tersebut kehilangan tempat tinggal.
Rohingya tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar meski telah tinggal beberapa generasi di negara yang dulunya bernama Burma tersebut. Praktis, mereka sulit mendapatkan pekerjaan, sekolah ataupun jaminan kesehatan.
sumber:liputan6.com