TOTABUAN.CO – Khalayak kian jelas memandang bahwa Joko Widodo gemar bermain simbol sejak terpilih menjadi Gubernur DKI. Bila dulu pejabat lebih sering dilantik di Balaikota, Jokowi justru memilih melantik pejabat di tempat-tempat unik, dan umumnya dekat dengan permukiman warga. Simbol hendak diisyaratkan Joko Widodo dimaksudkan agar pejabat senantiasa memahami persoalan rakyat dan lingkungannya.
Seperti kita tahu, simbol digunakan manusia untuk keperluan apa saja. Mulai dari ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, hingga keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, tetapi juga melalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu infrastruktur bahasa, yang dikenal dengan bahasa simbol.
Bahasa simbol adalah bahasa yang digunakan untuk menerjemahkan ide atau emosi atau keinginan atau peristiwa ke dalam simbolisasi. Sebutlah, bahasa simbol adalah bahasa makna.
Maka dari itu, marilah kita runut kegiatan Joko Widodo yang menggunakan bahasa simbol, sejak masuk Jakarta hingga dirinya terpilih menjadi orang ketujuh dalam jajaran presiden Republik Indonesia (RI).
Diawali pada 20 Desember 2012, Jokowi melantik Krisdianto dan Husein Murad sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Jakarta Timur. Pelantikan dilakukan di sebuah kampung kumuh di RT 007/RW 05 Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Kemudian, Jokowi juga melantik Wali Kota Jakarta Selatan Syamsudin Noor di kawasan wisata Setu Babakan.
Tak berapa lama kemudian, Jokowi kembali melantik Wali Kota Jakarta Barat saat itu, Fatahillah, menggantikan Burhanuddin yang memutuskan untuk menjadi calon anggota legislatif DPRD DKI Jakarta 2014-2019. Fatahillah dilantik di Rumah Susun Tambora. Selanjutnya, Jokowi melantik Bupati Kepulauan Seribu Asep Syarifudin di Pulau Pari pada (5/6/2013) lalu.
Terakhir, Jokowi melantik Heru Budi Hartono di pinggir Danau Cincin, Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Senin (13/1/2014).
Jika menyimak semua tempat yang dipergunakan Jokowi untuk melantik para pejabat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, tentu kita bisa langsung mengerti bahwa pesan yang hendak disampaikan Jokowi kepada para pejabat yang dilantik dan juga khalayak adalah harapan agar para pejabat yang dilantik harus mengerti persoalan yang dihadapi oleh masyarakat setempat, di daerah tempat dia dilantik.
Seperti pada pelantikan Krisdianto dan Husein Murad sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Jakarta Timur, Jokowi beralasan, “Pelantikan di kampung karena permasalahan ada di sini.” Dengan pelantikan ini, ia menagih keduanya untuk bisa menyelesaikan permasalahan di tingkat paling dasar pada wilayah yang dipimpinnya.
Sementara itu, pelantikan Heru Budi Hartono di pinggir Danau Cincin dilakukan agar mereka dapat segera menyelesaikan persoalan yang terdapat di tempat pelantikan tersebut.
“Di sini (Taman BMW) kan sertifikatnya bermasalah,” kata Jokowi seraya menerangkan bahwa, sudah hampir 11 tahun, persoalan tersebut menggantung, dan pembangunan stadion mangkrak. “Urusan ini harus segera diselesaikan oleh wali kota baru. Stadion (harus) segera dibangun.”
Lain lagi dengan alasan melantik Syamsudin Noor sebagai Wali Kota Jakarta Selatan pada Rabu (15/5/2013) di Kampung Betawi di Setu Babakan, Jakarta Selatan. “Untuk mengingatkan perlunya sebuah kampung asli Betawi, perlunya sebuah kota yang punya karakter dan identitas yang jelas,” ujar Jokowi di Balaikota Jakarta, Senin (13/5/2013) sore.
Mantan Wali Kota Solo tersebut mengatakan, Setu Babakan merupakan salah satu dari sekian banyak identitas budaya Betawi yang masih bertahan di Jakarta. Oleh sebab itu, Jokowi berharap agar wali kota baru mampu mempertahankan sekaligus mengembangkan karakter budaya asli Jakarta di daerah Setu Babakan, Jakarta Selatan, itu.
***
Kebiasaan Jokowi dalam “bermain” simbol pun berlanjut. Kala itu, Jumat (14/3/2014) siang, Joko Widodo yang masih jadi Gubernur DKI Jakarta mengaku diperintah oleh Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai capres 2014. Jokowi mengatakan siap maju, lantas menyampaikan deklarasi diri di rumah Si Pitung, di Marunda Pulo, Cilincing, Jakarta Utara.
Jokowi memilih mendeklarasikan diri di rumah “Robin Hood” dari Betawi karena rumah itu merupakan simbol perlawanan terhadap kemiskinan dan keterbelakangan.
Si Pitung adalah salah satu pendekar Betawi yang berasal dari kampung Rawabelong, Jakarta Barat. Selain itu, Si Pitung menggambarkan sosok pendekar yang suka membela kebenaran dalam menghadapi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh penguasa Hindia Belanda pada masa itu. Kisah pendekar Si Pitung ini diyakini nyata oleh para tokoh masyarakat Betawi, terutama di daerah Kampung Marunda, tempat yang terdapat rumah dan masjid lama.
Pembaca tentu masih ingat, deklarasi kesiapan menjadi calon presiden yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo di rumah Si Pitung itu pun mendapatkan aksi protes dari organisasi Badan Musyawarah Masyarakat Betawi.
Ketua Lembaga Antar Bidang Badan Musyawarah Masyarakat Betawi Muhammad Rifky menyatakan keberatan, dan meminta agar Jokowi segera meminta maaf kepada masyarakat Betawi karena Gubernur DKI ini telah menggunakan nama pahlawan Si Pitung untuk kepentingan politik.
Permasalahan kedua, Rumah Pitung merupakan cagar budaya. Menurut Rifky, tidak seharusnya cagar budaya dijadikan tempat deklarasi pencapresan suatu kelompok tertentu.
Mendengar tuntutan tersebut, Jokowi tak banyak berkomentar. Gubernur DKI Jakarta itu menilai anggapan tersebut salah kaprah. Simbol perlawanan yang Jokowi maksud bukanlah melawan capres-capres lain.
“Kok melawan capres lain, kita ini maju semuanya untuk membawa perubahan. Simbol perlawanan yang dimaksud itu perlawanan terhadap kemiskinan, perlawanan terhadap neo liberalisme, terhadap itu, bukan lawan capres lain,” ujar Jokowi seusai berkampanye di Kota Gajah, Lampung Tengah, Sabtu (22/3/2014).
Berikutnya adalah kabar tentang rencana Jokowi untuk mengumumkan nama-nama menteri yang masuk dalam kabinetnya, yang akan berlangsung di Terminal III, Dermaga 300, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Kenapa Jokowi memilih penyampaian nama menterinya di laut? Tentu kita masih ingat dengan peristiwa 22 Juli 2014. Saat itu, Jokowi membacakan pidato kemenangannya di Pelabuhan Sunda Kelapa sambil menunggangi kapal pinisi.
Simbol yang diisyaratkan Jokowi lebih kurang sama dengan pidato pelantikannya yang hendak mengembangkan karakter kemaritiman untuk dijadikan sebagai pola pikir dalam pembangunan. Indonesia harus mengolah potensi kelautan supaya menjadi negara bahari. Karakter bahari juga dia harapkan bisa terpatri dalam diri masyarakatnya.
Lalu, kenapa Jokowi mengumumkan kemenangannya di Pelabuhan Sunda Kelapa? Seperti yang kita ketahui, Selat Sunda pada zaman Hindia Belanda diibaratkan sebagai World Trade Center. Pusat perdagangan dunia, dari Eropa, India, dan Tiongkok.
“Dulu pada zaman kerajaan Sriwijaya berjaya, kerajaan Majapahit berjaya, maritimnya berjaya karena armada lautnya,” ujar Joko Widodo, Kamis (14/8/2014).
Selain itu, Sunda Kelapa yang sekarang dinamakan Jakarta merupakan kota yang erat dengan Jokowi. Dia mengimplementasikan gagasan dan tindakannya yang progresif di Jakarta ini. Jadi, tidak heran jika Jokowi, Jakarta, dan maritim adalah konsep yang akan menjadi cetak biru perkembangan Indonesia lima tahun ke depan.
Pengumuman di Sunda Kelapa juga bisa dimaknai sebagai penaklukan Sunda Kelapa oleh utusan Demak, Fatahillah, 485 tahun yang lalu, atau tanggal 22 Juni 1527. Saat itu, pasukan gabungan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Falatehan) merebut Sunda Kelapa.
Fatahillah adalah tokoh yang dikenal mengusir Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa dan memberi nama “Jayakarta” yang berarti Kota Kemenangan, yang kini menjadi kota Jakarta.
Barangkali, kebesaran nama Fatahillah itulah yang hendak dijadikan spirit bagi Jokowi untuk membangun Indonesia dari Jakarta.
Tak berhenti di situ, saat pelantikan Jokowi menjadi presiden, pakaian yang dikenakan oleh Ibu Negara Iriana menjadi sorotan. Pakaian yang dikenakan saat mendampingi suaminya dalam acara pelantikan presiden dan wakil presiden di Gedung MPR pada 20 Oktober lalu itu ternyata juga sarat akan simbol.
Motif dasar kain yang dikenakan Iriana adalah Sidomukti, sogan Solo. Artinya, si pemakai berharap akan beroleh mukti atau kejayaan. Sementara itu, kebayanya model kutu baru yang pada zaman Bung Karno dulu kerap dikenakan oleh Ibu Hartini dan Gusti Putri Mangku Negara VIII (Ibu Tien juga sering menggunakan model kebaya seperti ini, berikut selendangnya). Bunga-bunga dalam kebaya warna jingga itu bisa diartikan kegembiraan dan kebahagiaan.
Namun, ada juga yang mengatakan bahwa kain yang dikenakan Iriana bernama Lumintu karya Hartini (alm). Kata “Lumintu” sendiri dalam bahasa Jawa memiliki arti lumintis, berkesinambungan; dan dalam bahasa Sunda berarti bersyukur. Dari kedua nama yang memiliki arti baik tersebut, Lumintu mengandung pesan bahwa usaha apa pun yang dijalani, apabila disyukuri, maka akan berkesinambungan.
Tak ada yang keliru dengan simbol-simbol yang diisyaratkan Jokowi dalam bekerja. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan terhadap nilai-nilai yang diwakilinya.
Namun, manusia kadang suka terjebak pada kulit, dan menganggap simbol merupakan substansi. Padahal, simbol hanyalah isyarat yang harus dimaknai secara arif. Memahami bahasa simbol yang diisyaratkan Jokowi adalah memahami kedalaman seorang pemikir sekaligus pekerja yang tidak hanya bicara tentang permukaan, tetapi juga kedalaman mengenai misi, visi, dan juga filosofi.
Tentu saja, tak semua orang menyukai bahasa simbol sebab dianggap bertele-tele dan berlebihan. Apalagi jika terlalu sering diucapkan, bahasa itu bisa jadi justru akan membosankan. Simbol lagi, simbol lagi!
sumber: kompas.com