TOTABUAN.CO-Hal itu dikatakan Solahudin, peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, menanggapi penembakan terhadap seorang pria oleh Detasemen Khusus 88 di Bima, NTB.
Menurut Solahudin, alasan mengapa jaringan Santoso merekrut orang-orang dari Bima ialah karena istri kedua Abu Wardah alias Santoso berasal dari wilayah tersebut.
“Sudah lama orang-orang Bima ke sana,” kata Solahudin, merujuk Poso, Sulawesi Tengah.
Soal pria yang ditembak di Bima, Solahudin menyebut orang tersebut adalah anggota jaringan Santoso bernama Fajar.
“Terkenal ganas dia. Eksekutor di lapangan,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jendral Agus Rianto, membenarkan bahwa pihak kepolisian telah menembak mati seorang anggota jaringan Santoso di Bima, NTB.
Jaringan Santoso atau Mujahidin Indonesia Timur diyakini beranggotakan 40 orang dan beroperasi di kawasan pegunungan Poso, Sulawesi Tengah.
Pemimpin kelompok ini ialah Abu Wardah alias Santoso, mantan kepala Jemaah Ansharut Tauhid (kelompok yang didirikan Abu Bakar Ba’asyir) cabang Poso.
Santoso memiliki reputasi melatih milisi, merakit bom, dan menargetkan anggota polisi.
Pada 2015, polisi dan tentara menggelar operasi gabungan untuk melacak Santoso. Dia dilaporkan mampu meloloskan diri, namun wakilnya, Daeng Koro, ditembak mati.
November 2015 lalu, MIT merilis video yang meyebut diri mereka sebagai ‘prajurit Negara Islam’ sekaligus mengancam pemerintah dan kepolisian Jakarta.
Pengamat terorisme, Solahudin, mengatakan MIT telah berkoordinasi dengan ISIS untuk melatih beberapa orang etnik Uighur di Poso. Beberapa orang di antaranya ditangkap polisi dan telah diadili.
Kepolisian mengatakan MIT memiliki metode memenggal kepala korban, seperti yang dilakukan ISIS. Beberapa hari sebelum serangan di Jakarta Pusat, pada Kamis (14/01), aparat menahan lima orang yang diyakini terkait dengan kelompok Santoso.
Sumber:bbc.com