TOTABUAN.CO– Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut kasus bullying mengalami peningkatan sepanjang 2015. Menurut psikolog, stres dan tingginya tekanan hidup pada anak menjadi salah satu faktor pemicunya.
“Anak-anak sekarang lebih sibuk dari orang tuanya. Les ini-itu, tidak ada waktu untuk bersenang-senang,” jelas Liza Marielly Djaprie, psikolog dari sanatorium Dharmawangsa, dalam sebuah sesi temu media di Senayan, Jakarta Selatan, (Rabu (12/1/2016).
Saat anak-anak merasa stres dan tidak bisa melampiaskannya pada penyebab yang sesungguhnya, maka risiko bullying meningkat. Liza mencontohkan, seorang karyawan yang stres karena bosnya dan tidak bisa berbuat apa-apa, bisa melampiaskannya pada istri saat sampai di rumah.
“Lalu istrinya yang digampar. Bullying juga seperti itu,” jelas Liza.
Selain karena stres, bullying juga meningkat karena anak-anak banyak kehilangan waktu bermain. Padahal bagi anak, belajar tidak melulu dari sekolah melainkan justru lebih banyak dari bermain. Saat bermain, anak-anak belajar mengolah kecerdasan emosionalnya.
Bullying, menurut Liza merupakan bentuk penindasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok orang yang lain. Ada 3 komponen dalam bullying yakni kekuatan yang tidak balance, dilakukan secara repetitif dalam jangka lama, dan punya intensi tertentu.
Dari berbagai bentuk bullying, bullying secara verbal termasuk jenis yang sering terabaikan. Dibandingkan bullying secara fisik, bullying verbal memang tidak menyisakan bekas yang kasat mata. Namun demikian, dampaknya bagi kejiwaan korban tidak kalah dahsyat.
“Bekasnya nggak kelihatan secara fisik, tetapi dampaknya paling mematikan. Bullying cyber dan verbal menyebabkan tingkat bunuh diri paling tinggi dibanding bentuk bullying lainnya,” jelas Liza.
Sumber: detik.com