TOTABUAN.CO– Pemerintah harus fokus menurunkan harga listrik bagi industri hingga 50% dalam implementasi paket ekonomi jilid IX. Tersedianya listrik murah dan berkualitas akan mendorong berkembangnya industri dasar dengan multiplier effect besar dan sektor manufaktur yang lain. Hal ini merupakan wujud komitmen pemerintah yang bertekad menggeser basis ekonomi dari komoditas menjadi industri manufaktur yang bernilai tambah tinggi.
Pada Rabu (27/1), pemerintah merilis Paket Kebijakan Stimulus Ekonomi IX yang menyentuh tiga sektor, yakni infrastruktur listrik, pangan, serta logistik. Paket ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur tenaga listrik dan mendorong penguatan PLN, stabilisasi harga daging, serta meningkatkan sektor logistik desa-kota dan efisiensi proses administrasi pelabuhan.
“Listrik murah terutama dibutuhkan untuk membangun industri dasar, seperti baja. Dengan adanya industri dasar yang kompetitif, karena multiplier effect-nya besar, akan membuat industri manufaktur yang lain juga kompetitif. Kualitas listrik juga harus mencapai 380 volt seperti dijanjikan, bukan 340 volt seperti saat ini, yang merusak alat-alat elektronik dan mesin-mesin kami,” kata Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat kepada Investor Daily di Jakarta, Kamis (28/1).
Tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia yang menjadi salah satu penyumbang ekspor utama sulit bersaing dengan produk kompetitor Vietnam, antara lain karena harga listrik industri mahal di Indonesia. Ia menjelaskan, jika tarif listrik ini di Vietnam hanya US$ 6 sen per kWh, di Tanah Air selama ini sekitar US$ 12 sen per kWh atau dua kalinya.
“Pemerintahan Presiden Jokowi harus fokus menurunkan harga lisrik untuk industri, dari selama ini US$ 12 sen per kWh dipangkas 50%, apalagi harga minyak sudah turun sekitar 70% dalam 15 bulan terakhir. Sama seperti di Vietnam, di Korea Selatan harga listrik industri sekitar US$ 6 sen per kWh. Ini agar sektor manufaktur berkembang dan berperan lebih besar, sehingga menurunkan ketergantungan terhadap komoditas yang rawan tekanan krisis ekonomi global,” paparnya.
Sementara itu, berdasarkan data PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), tarif listrik di Vietnam untuk industri besar sekitar Rp 777 per kWh jika dihitung dalam rupiah. Tarif ini lebih murah sekitar 30% dari tarif listrik Indonesia yang sebesar Rp 1.051 per kWh per Januari 2016. Sedangkan tarif untuk konsumen rumah tangga di Vietnam Rp 1.120 per kWh dan di Indonesia Rp 1.497 per kWh.
Ade Sudrajat menjelaskan, beban ongkos listrik signifikan bagi industri. Rata-rata, biaya bahan baku sekitar 60-65% dari ongkos produksi, biaya listrik 15-25%, dan sisanya lain-lain (upah tenaga kerja, beban bunga kredit, dan biaya logistik).
Secara terpisah, pengamat ekonomi Judi Budiman juga mengharapkan pemerintah dapat mengimplementasikan paket ekonomi jilid IX dengan mengutamakan mengatasi masalah listrik di daerah. Untuk penyediaan listrik jangka panjang, lanjut dia, Indonesia yang beriklim tropis bisa memaksimalkan energi angin dan cahaya matahari untuk pembangkit listrik.
Tingkatkan Rasio Elektrifikasi
Sementara itu, Menko Perekonomian Darmin Nasution saat mengumumkan paket ekonomi IX mengatakan, untuk mempercepat pembangunan infrastruktur tenaga listrik, Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera mengeluarkan peraturan presiden (Perpres). “Selain memenuhi kebutuhan listrik rakyat, pembangunan infrastruktur ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan rasio elektrifikasi,” kata Darmin.
Hingga akhir 2015, kapasitas listrik terpasang di Indonesia mencapai 53 giga watt (GW), dengan energi yang terjual mencapai 220 terra watt hour (TWh). Rasio elektrifikasi saat ini sekitar 87,5%.
“Untuk mencapai rasio elektrifikasi hingga 97,2% pada 2019, diperlukan pertumbuhan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan sekitar 8,8% per tahun. Ini berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 6% per tahun dengan asumsi elastisitas 1,2,” kata Darmin.
Untuk mengejar target tersebut, pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan lewat penugasan kepada PT PLN (Persero). Pemerintah akan mendukung upaya PLN seperti dengan menjamin penyediaan energi primer, memberikan penyertaan modal negara (PMN), mendukung fasilitas pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), menyederhanakan perizinan melalui pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), menyelesaikan konflik tata ruang, membantu penyediaan tanah serta penyelesaian masalah hukum, dan membentuk badan usaha tersendiri yang menjadi mitra PLN dalam penyediaan listrik.
Efisiensi Pelabuhan
Selain meminta pemerintah mengatasi masalah pasokan listrik di daerah, Judi meminta pemerintah merampingkan administrasi di pelabuhan-pelabuhan. “Kalau soal daging harganya naik itu sudah klasik. Yang saya harapkan pemerintah merealisasikan listrik di pelosok negeri dan juga administrasi di pelabuhan mesti diperbaiki. Administrasi di pelabuhan ekspor impor masih banyak kendalanya, banyak prosedur yang mesti kita lalui,” ujar Judi.
Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan sebelumnya, paket ekonomi IX diharapkan dapat mendukung dunia usaha dan memajukan logistik nasional. Untuk itu, pemerintah harus mengawasi implementasi di lapangan dengan ketat.
“Artinya, kalau jalan dengan benar, kita berharap nggak ada lagi masalah seperti dwelling time yang lama. Kalau berbagai kementerian dan stakeholder sudah bersatu, tidak ada lagi permasalahan seperti dokumentasi yang lama dan berhari-hari,” katanya.
Carmelita mengatakan, penerapan portal Indonesia National Single Window (INSW) yang sudah lama diwacanakan juga harus segera diterapkan. Ia menilai, hingga kini belum ada regulasi yang memaksa penerapannya. Padahal, INSW akan membantu menangani kelancaran pergerakan dokumen ekspor impor.
“Dengan adanya pelayanan satu pintu itu, maka proses logistik di jalur prioritas bisa lebih cepat. Sedangkan menyangkut penggunaan mata uang rupiah di sektor transportasi harus diatur lebih rinci, karena tidak semua transaksi bisa menggunakan rupiah,” paparnya.
Soal Daging
Terkait langkah yang dilakukan pemerintah untuk stabilisasi harga daging, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana mengatakan, rencana pemerintah membuka impor sapi berdasarkan zona atau wilayah – bukan lagi negara yang bebas penyakit hewan berbahaya – akan berdampak negatif. Pasalnya, kemampuan pertahanan Indonesia, baik dari sisi karantina maupun bea cukai, masih lemah.
“Akibatnya, tidak ada jaminan atas kontrol terhadap sapi yang masuk ke Indonesia. ‘Pertahanan’ Indonesia masih bobol, karena daging ilegal dan jeroan impor masih masuk ke pasar dalam negeri,” kata Teguh di Jakarta, Kamis (28/1).
Seperti diketahui, pemerintah dalam paket kebijakan ekonomi IX membuka keran impor dari negara atau zona yang memenuhi syarat kesehatan hewan, sesuai ketentuan organisasi kesehatan hewan internasional. Hal itu dilakukan untuk memperluas sumber pasokan sapi bagi kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Kebijakan tersebut ditetapkan terutama untuk menjamin ketersediaan daging sapi di dalam negeri, terutama saat terjadi bencana maupun kenaikan harga yang memicu inflasi.
“Pemerintah terlalu tergesa-gesa dan pragmatis. Ini bukan lagi terobosan, tapi adalah bypass. Seharusnya, pemerintah menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Seharusnya, MK tidak pasif dalam hal ini karena rencana penetapan impor dengan zona based dulu juga sudah pernah dibatalkan MK. Fokus perhatian kami adalah bagaimana jika sapi itu terkena PMK (penyakit mulut dan kuku)? Sejauh mana bisa dikontrol, karena sistem karantina dan bea cukai kita lemah,” kata Teguh di Jakarta, Kamis (28/1).
Pemerintah, lanjut dia, seharusnya tidak hanya mengutamakan daging murah. Pasalnya, ada sekitar 5,5 juta rumah tangga peternak rakyat yang juga harus menjadi pertimbangan pemerintah.
Kebijakan membuka keran impor, apalagi zona based, akan memangkas semangat beternak. Akibatnya, populasi sapi di Indonesia yang sekarang sudah rendah, akan semakin habis.
“Pada akhirnya, Indonesia akan menjadi importir penuh sapi. Kebijakan itu melukai peternak rakyat. Pemerintah harus sadar, begitu zona based berlaku, kita tidak bisa lagi menolak sapi impor dari mana pun. Kita tidak akan memiliki posisi tawar. Kita juga akan bergantung pada harga sapi internasional, belum lagi pengaruh kurs. Kalau sudah begitu, tidak akan ada lagi istilah sapi murah,” kata Teguh.
Pemerintah semestinya mau menunggu putusan MK terlebih dahulu, apalagi hal itu juga akan terkait dengan pulau karantina. Kalau MK menetapkan impor sapi atau dagingnya harus tetap pada country based, konsep pulau karantina akan hilang.
Sedangkan Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Pangan Strategis Juan Permata Adoe menilai pemerintah melakukan terobosan bagus dengan membuka lebih lebar keran impor ternak dan produk hewan tertentu. Kebijakan ini memberikan kepastian pasokan daging di dalam negeri.
“Impor sapi jangan dilihat sebagai ancaman bagi sapi lokal. Sebab, saat ini pemerintah masih terus mengembangkan program bibit sapi produktif. Bila program ini berhasil dan bisa memenuhi kebutuhan nasional tentu tidak perlu impor lagi,” tandasnya.
Selama ini, kata dia, Australia dan Selandia Baru merupakan sumber impor sapi. Ke depan, Juan menyarankan sapi dari Brasil dan Uruguay bisa menjadi alternatif karena sudah memenuhi syarat kesehatan. Namun Juan tidak setuju dengan impor daging, karena tidak memberikan dampak yang lebih besar bagi masyarakat.
Sumber: beritasatu.com