TOTABUAN.CO — Indonesia dan Amerika Serikat (AS) sepakat menghentikan sengketa dagang terkait larangan distribusi rokok non-mentol di AS yang bertahun-tahun dibahas dalam forum WTO (World Trade Organization). Namun hal itu tetap tidak merubah ketetapan WTO bahwa Amerika Serikat bersalah.
Sengketa bermula saat Amerika Serikat menerapkan Undang-Undang yang melarang jual beli rokok beraroma sejak Juni 2009. Sebagai produsen dan eksportir rokok kretek, Indonesia merasa keberatan karena UU itu sangat diskriminatif.
“Amerika tidak menganggap rokok mentol sebagai rokok beraroma. Sementara Indonesia menilai rokok mentol seharusnya masuk kategori rokok beraroma,” ujar Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Bachrul Chairi kemarin (7/10).
Pada April 2010, Indonesia memang mengadukan kebijakan Amerika Serikat itu ke Dispute Settlement Body (DSB) di WTO.
Setelah melalui serangkaian konsultasi dan proses acara pemeriksaan, DSB-WTO baik pada tingkat pertama maupun pada tingkat banding menyatakan bahwa AS bersalah karena telah menerapkan kebijakan yang diskriminatif dan merugikan Indonesia. WTO meminta AS juga melarang peradagangan rokok menthol di negaranya.
Tapi Amerika Serikat setengah hati menjalankan keputusan WTO itu. Larangan itu hanya dijalankan dengan memberikan peringatan tentang bahaya merokok menthol. Upaya diplomasi terus dilakukan Indonesia di forum-forum internasional untuk mengecam ketidak patuhan Amerika Serikat tersebut.
Hingga akhirnya pekan lalu Amerika Serikat dan Indonesia menandatangani MoU (memorandum of Undertsanding) untuk menghentikan sengketa itu dengan beberapa kesepakatan.
Bachrul menilai Indonesia tetap diuntungkan dalam MoU ini. Sebab, keputusan WTO tetap menyatakan bahwa AS bersalah. Artinya, kesepakatan yang dicapai tidak akan menghapus fakta tentang pelanggaran AS.
“Kedua negara, Indonesia dan Amerika Serikat sepakat untuk mengakhiri kasus ini dengan penyelesaian yang bisa mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak,” tukasnya.
Apa yang didapat Indonesia melalui penyelesaian di luar WTO ini dianggap lebih signifikan jika dibanding upaya meminta WTO melakukan retaliasi (balasan-red) berupa pemangkasan impor dari AS senilai USD 55 juta.
“Keputusan ini dianggap menguntungkan Indonesia karena AS bersedia memberikan tambahan fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) selama lima tahun dan akan mempertimbangkan permintaan atas produk ekspor lain dari Indonesia,” tuturnya.
Amerika juga berjanji dan sepakat tidak akan mengadukan kebijakan larangan atau pembatasan ekspor bahan mineral yang diterapkan Indonesia, serta tidak akan mengganggu akses pasar produk cigars dan cigarillos buatan Indonesia di pasar AS sampai ada pengaturan lebih lanjut.
“Amerika bahkan akan membantu Indonesia untuk memperbaiki penegakan hak kekayaan intelektual (HKI) agar Indonesia lebih baik dalam hal penegakan HKI (Hak Kekayaan Intelektual),” paparnya.
Kedua negara sepakat bahwa dengan diakhirinya kasus rokok kretek ini, maka kedua pihak akan mengintesifkan kerja sama perdagangan dan investasi dalam kerangka Indonesia-US Trade and Investment Framework Arrangement (TIFA) yang lebih konstruktif dan positif bagi hubungan jangka panjang yang lebih baik.
“Kasus ini menjadi pembelajaran bagi negara lain bahwa Indonesia akan selalu berjuang membela haknya di WTO apabila diperlakukan secara tidak adil,” jelasnya.
Sumber: jpnn.com