TOTABUAN.CO – Paket kebijakan ekonomi yang diumumkan pemerintah diyakini akan memperkuat nilai tukar rupiah dan memperbaiki defisit transaksi berjalan dalam jangka menengah-panjang, meski belum dapat menambah suplai dolar secara signifikan untuk jangka pendek. Rupiah diprediksi akan menuju level Rp 12.000-an per dolar AS dalam enam bulan ke depan.
Syaratnya, kebijakan ini harus dijalankan secara konsisten. Selain itu, pemerintah dan Bank Indonesia perlu mendesain kebijakan lanjutan untuk memperkuat rupiah, menyehatkan neraca transaksi berjalan, serta mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Hal itu diharapkan mampu menarik minat asing berinvestasi di Indonesia.
Direktur Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa dan Kepala Ekonom/Direktur Investor Relation Bahana Sekuritas Budi Hikmat menilai, kebijakan yang diluncurkan bakal berdampak positif asal dijalankan secara konsisten dan diikuti kebijakan lanjutan. Namun, tujuan yang hendak dicapai, yakni memperkuat rupiah dan memperbaiki defisit transaksi berjalan membutuhkan waktu. “Suplai dolar tidak akan serta merta bertambah secara signifikan untuk jangka pendek,” kata Purbaya kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (17/3), menanggapi paket kebijakan ekonomi pemerintah yang diumumkan Senin (16/3).
Dampak paling mendasar dari kebijakan ini, kata Purbaya, adalah pembalikan sinyal dan persepsi. Sebelumnya, pemerintah dan BI dinilai salah dalam memainkan persepsi terhadap investor maupun masyarakat. Mereka memberikan sinyal seolah-olah lebih suka rupiah melemah. “Paket kebijakan ini menunjukkan pemerintah tidak suka rupiah melemah. Ini penting,” kata dia.
Budi Hikmat menyebut paket itu positif karena pada dasarnya membenahi secara struktural. Namun, penguatan rupiah butuh waktu. “Bila kita menginginkan mata uang rupiah stabil atau menguat, maka kuatkan tekad untuk menjadi negara yang produktif dan kompetitif. Ingat, selama lima tahun terakhir kita mengalami lonjakan defisit neraca minyak yang memerlukan pembiayaan dolar. Itu sebabnya, pemerintah Presiden Jokowi harus memacu revitalisasi industri dan program hilirisasi yang penting untuk meningkatkan nilai tambah ekspor,” tegasnya.
Purbaya menyebutkan bahwa jika kebijakan ini dijalankan secara konsisten, nilai tukar rupiah berpotensi menguat ke level Rp 12.500 per dolar AS dalam tiga bulan mendatang. “Kemudian rupiah menguat lagi ke posisi Rp 12.000 atau bahkan kurang sekitar enam bulan ke depan,” ujarnya.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Danareksa, kata Purbaya, dengan menggunakan enam model, nilai fundamental rupiah berada di level Rp 11.600-11.800 per dolar AS. Itu adalah level yang dapat disebut fair value, yang nyaman dan ideal baik baik eksportir maupun importir.
Budi Hikmat tidak menyebut berapa prediksi rupiah ke depan. Dia hanya mengisyaratkan, untuk sementara, Bank Indonesia bakal cenderung memposisikan pergerakan rupiah sebanding dengan mata uang negara kawasan alias dalam kondisi melemah.
Namun dia optimistis, peluang penguatan rupiah terbuka mengingat Indonesia bersama India dianggap dua negara berkembang yang selain memiliki potensi pertumbuhan terbilang tinggi, juga pengelolaan makroekonominya berhati-hati. Kedua negara ini diyakini menjadi tujuan relokasi investasi yang semula banyak ditempatkan di Rusia dan Brasil. “Dengan demikian, arus masuk modal asing ini akan meningkatkan permintaan terhadap rupiah, kemudian membantu meredakan gejolak pada nilai tukar rupiah sehingga kembali memacu optimisme di bursa saham dan obligasi,” tutur Budi Hikmat.
Sedangkan ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih meyakini paket kebijakan ekonomi merupakan katalis positif yang berpotensi memperkuat rupiah. “Meski dampaknya baru akan ketahuan enam bulan ke depan, paket tersebut menunjukkan pemerintah terus bekerja keras untuk membangkitkan kepercayaan pasar dan dunia usaha. Rupiah kembali ke level 12.000 atau setidaknya 12.800 per dolar AS adalah penting untuk kembali membangkitkan kepercayaan masyarakat dan dunia usaha,” kata Lana.
Seperti diberitakan, pemerintah mulai April mendatang memberikan insentif pajak kepada perusahaan yang berinvestasi dalam jumlah besar, banyak menyerap tenaga kerja, berorientasi ekspor, menggunakan tingkat kandungan lokal tinggi, serta melakukan penelitian dan pengembangan (R&D) di Indonesia. Insentif juga akan diberikan kepada perusahaan asing yang menginvestasikan kembali (reinvestasi) keuntungannya di Indonesia. Selain itu, pemerintah akan memberlakukan wajib letter of credit (L/C) bagi ekspor tambang mineral, batubara, migas, dan minyak sawit mentah (CPO).
Pemerintah juga akan memberikan insentif pajak berupa pengurangan atau penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) kepada industri galangan kapal dan sektor pertanian. Kecuali itu, pemerintah akan menerapkan antidumping dan bebas visa kunjungan singkat wisatawan bagi 30 negara Asia Pasifik. Kebijakan lainnya adalah mandatori penggunaan biofuel sampai 15 persen dan pembentukan perusahaan reasuransi BUMN.
Pasar finansial bereaksi positif terhadap paket kebijakan itu. Rupiah sedikit menguat ke posisi Rp 13.126 per dolar AS, kemarin. Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia menguat tipis 3,9 poin ke 5.439,1.
Budi Hikmat memuji langkah BI yang tidak tergoda untuk membabi buta mengintervensi pasar valas. Dia membandingkan Malaysia yang yang mati-matian menahan ringgit dengan melepas sekitar US$ 20 miliar dalam sebulan terakhir. Cadangan devisa Malaysia akhirnya tinggal US$101 miliar, lebih rendah dibanding Indonesia yang mencapai US$ 115 miliar. Itupun, ringgit melemah 5,4 persen sejak awal tahun (YTD).
Demikian juga Rusia yang selama setahun terakhir cadangan devisanya melorot US$122 miliar untuk menstabilkan rubel yang terpuruk 41 persen. Mata uang lira Brasil juga sudah terpangkas sekitar 28 persen.
Defisit Transaksi Berjalan
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro saat bertemu dengan para pemimpin redaksi (pemred) media massa di kediamannya di Jakarta, Selasa (17/3) malam mengungkapkan, pemerintah akan berupaya sekuat tenaga agar defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) tahun ini tidak melebihi 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). “Paket kebijakan ekonomi yang akan diberlakukan bulan depan juga bertujuan mengurangi CAD agar bisa di bawah 3 persen, bahkan lebih bagus kalau bisa 2,5 persen,” kata Bambang Brodjo.
Menurut Menkeu, setelah tujuh paket kebijakan ekonomi diterapkan bulan depan, pemerintah berencana mengeluarkan paket-paket kebijakan lainnya. “Jadi, bukan hanya paket kebijakan yang kemarin diumumkan. Nanti ada langkah-langkah lain yang dapat mendukung keseimbangan neraca transaksi berjalan,” ujar dia.
Untuk memangkas CAD, kata Bambang Brodjo, pemerintah juga akan fokus membenahi industri manufaktur nasional, di antaranya dengan memperkuat fundamental industri di dalam negeri, terutama membangun industri barang modal, bahan baku, dan industri dasar. Selain itu, pemerintah bakal menggenjot program hilirisasi agar produk yang diekspor memiliki nilai tambah tinggi.
“Salah satu sumber defisit CAD adalah defisit neraca perdagangan di sektor barang modal dan bahan baku. Untuk itu, struktur industri manufaktur akan kami benahi, salah satunya melalui pemberian insentif fiskal untuk mendorong industri barang modal, bahan baku, dan industri dasar. Yang diekspor juga harus produk-produk olahan bernilai tambah tinggi, makanya hilirisasi akan digenjot,” papar dia.
Budi Hikmat dan Purbaya sependapat bahwa pemerintah dan BI harus fokus memperbaiki neraca transaksi berjalan yang pada kuartal IV-2014 mencapai US$ 6,2 miliar atau 2,81 persen PDB. Ke depan, neraca berjalan tetap akan defisit namun defisitnya diharapkan lebih berkualitas, karena impornya didominasi bahan baku dan barang modal.“Kondisi ini berbeda dengan sebelumnya yang didominasi oleh impor bahan bakar akibat kebablasan menerapkan subsidi,” tutur Budi Hikmat.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara menuturkan, BI tengah menyiapkan paket kebijakan guna memperdalam pasar keuangan sebagai antisipasi untuk meredam volatilitas rupiah.
“BI akan memperbanyak instrumen keuangan sebagai upaya pendalaman pasar keuangan,” ujar Tirta.
Berdasarkan stress test yang dilakukan BI, terdapat 7 dari 91 perusahaan yang diobservasi berpotensi insolvent atau berekuitas negatif jika rupiah melemah hingga di atas Rp 15.500 per dolar AS.
Kendati demikian, kata Tirta, sistem keuangan Indonesia masih memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi risiko kredit dan risiko pasar yakni suku bunga dan nilai tukar.
Kepemimpinan Jokowi
Dihubungi terpisah, ekonom Universitas Gadjah Mada Tony Prasetyantono berpendapat, paket kebijakan ekonomi belum mampu memperbaiki stabilitas rupiah dalam jangka pendek, karena dimensinya jangka menengah-panjang. Dampaknya baru terasa pada semester kedua.
Dia menilai pelemahan rupiah lebih dipicu faktor nonekonomi. Sebab, dari sisi ekonomi, fundamental ekonomi Indonesia baik-baik saja. Neraca perdagangan membaik dengan surplus selama tiga bulan berturut-turut (Desember-Februari). Cadangan devisa membaik, sekitar US$ 115 miliar.
Aspek nonekonomi yang disebut Tony adalah lemahnya kepemimpinan Jokowi. “Jokowi perlu menunjukkan kekuatan leadership-nya supaya pasar percaya untuk memegang rupiah. Akhir-akhir ini dia terombang-ambing, kualitas kepemimpinannya terganggu berbagai isu politik dan hukum, seperti KPK vs Polri. Ini lama-lama membuat pemilik modal jengah, sehingga memilih memegang dolar AS. Sentimen negatif ini harus diperbaiki,” kata dia.
Menko Perekonomian Sofyan Djalil menyatakan, paket kebijakan ekonomi terbaru tidak secara eksplisit memperbaiki stabilitas rupiah. Menurut dia, rupiah akan stabil dengan sendirinya saat transaksi berjalan bergerak ke arah yang lebih sehat di bawah 3 persen PDB.
Ketua Komisi XI DPR RI Fadel Muhammad menilai, berbagai kebijakan insentif pajak reinvestasi diharapkan dapat meningkatkan aliran investasi asing langsung (FDI) dan menambah stok dolar AS. Paket ini diharapkan pula dapat memperbaiki neraca jasa, khususnya terkait rencana merger BUMN reasuransi. “Kalau defisit transaksi berjalan makin sehat, dengan sendirinya rupiah stabil, semoga di akhir tahun bisa terjaga di level Rp 12.500 per dolar AS,” katanya.
Kalangan pengusaha yang banyak melakukan impor mengeluhkan rupiah yang melemah hingga Rp 13.000 per dolar AS. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman mengatakan, pelemahan rupiah memukul industri farmasi, makanan dan minuman, serta mesin dan peralatan karena mayoritas bahan bakunya masih diimpor.
Meski biaya produksi meningkat, pengusaha yang tergabung dalam Gapmmi belum berniat menaikkan harga jual barang. Sebab, industri makanan dan minuman masih menyimpan stok bahan baku yang cukup untuk enam bulan. Menurut Adhi, level rupiah yang aman bagi pengusaha adalah sekitar Rp 12.000 per dolar AS.
Sedangkan Senior Managing Director Creador Cyril Noerhadi berharap pelemahan rupiah bersifat temporer karena dipengaruhi penguatan dolar ke semua mata uang global.
Direktur Creador Stefanus Hadiwidjaja menambahkan, apabila pelemahan rupiah hanya bersifat sementara, bisnis Creador yang ada di sektor ritel, pendidikan, kesehatan, jasa keuangan tidak akan berpengaruh.
sumber: beritasatu.com