TOTABUAN.CO — Pemilik D’Jengkol Cafe & Resto, Muhamad Gunarsah memulai usahanya di bidang panganan olahan jengkol dimulai dari memproduksi sambal jengkol. Ide memproduksi sambal jengkol diperoleh Goen, sapaan akrab Muhamad Gunarsah, saat berinteraksi dengan sesama netizen penggemar jengkol.
“Di tahun ini ketemu teman-teman pengusaha internet yang ternyata sesama penggemar jengkol. Dari situ keidean untuk usaha bareng jualan jengkol online,” ungkap Goen saat berbincang denganmerdeka.com, Selasa (16/12).
Ide membuat usaha bersama online di bidang panganan olahan jengkol ini membuahkan beberapa ide menu, salah satunya adalah sambal jengkol. “Pas nyusun menu yang mau dijual, salah seorang temen bilang tentang sambel jengkol. Karena belum pernah dengar akhirnya tanya sambel jengkol tuh kayak gimanah. Ternyata jengkol yang dikasih sambel,” jelas Goen.
Goen menginginkan sesuatu yang istimewa dari sambal jengkol, bukan sekedar jengkol diberi sambal. Berkonsultasi dengan sang ibu, Goen akhirnya mencoba membuat sambal jengkol berbagai tingkat kepedasan.
“Level mengharukan itu sambel yang enggak begitu pedes. Level masbuloh yang pedes,” jelas Goen.
Goen bersama sang adik, Muhamad Gunarwan menjajal pasar dengan menjual sambal jengkol saat car free day di Bandung dan mendapati minat masyarakat Bandung terhadap produknya ternyata cukup bagus.
“Dicoba dijual di car free day ternyata lumayan laris. Akhirnya coba jual online ternyata laris juga,” tutur Goen.
Menjual produknya secara online memungkinkan Goen menjangkau wilayah yang lebih jauh. Dengan harga Rp 25.000 per botol ukuran 200 gram, produk sambal jengkol tidak hanya diminati konsumen dalam negeri, namun juga konsumen di luar negeri.
Namun, lantaran Perizinan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) belum selesai dan masih mencari formula yang pas agar produknya tahan lama tanpa bahan pengawet, Goen belum bisa memenuhi permintaan pasar luar negeri.
“Pangsa pasar paling jauh sampai Kalimantan, Makassar. Sebetulnya ada permintaan juga dari Hong Kong, Australia dan Abu Dhabi, tapi ga berani kirim karena PIRT belum kelar dan masih cari formula untuk tahan lama tanpa pengawet. Konon produk makanan gak perlu izin dinkes, tapi bisa PIRT doang,” jelas Goen.
Goen memaparkan untuk memulai usaha sambal jengkol, dirinya membutuhkan dana awal sebesar Rp 700.000 dimana dengan Rp 500.000 bisa menghasilkan 100 botol sambal jengkol ukuran 200 gram.
Meski kini sudah memiliki cafe & resto sendiri bertema jengkol, Goen mengaku masih memproduksi sambal jengkol. “Tapi ngga online karena masih cari formula tahan lama. Pengalaman, dari 100 botol yang dikirim, ada 10 yang asem begitu nyampe ke tempat pembeli. Cuma 1 hari, padahal masih baru. Mungkin akibat packaging yang kurang oke, mungkin karena kepanasan di jalan sehingga terjadi penguapan di dalam botol, atau mungkin dia lelah,” jelas Goen.
Meski banyak penilaian negatif mengenai jengkol, Goen mengaku mantap menekuni bidang usaha biji berbau menyengat tersebut. “Gak (takut) tuh. Kan bau bisa diminimalisir. Lagipula sebau apapun jengkol tetap ada penggemarnya,” tutup Goen.
Dengan usahanya ini, Goen berharap bisa memiliki kebun jengkol dan kebun cabe sendiri lantaran harga cabe yang fluktuatif.
sumber : merdeka.com