TOTABUAN.CO-Kampanye negatif terhadap kelapa sawit Indonesia makin masif. Hal ini tercermin dari beberapa supermarket premium di Tanah Air yang mulai menjual produk-produk makanan kemasan (snack) impor yang berlabel tanpa mengandung minyak sawit (Palm Oil Free/POF). Peringatan ini semacam sertifikat halal saja, padahal minyak sawit adalah minyak nabati yang 100% halal dan secara ilmiah terbukti menyehatkan.
Jika pemerintah saat ini berkomitmen menjadikan sawit sebagai komoditas strategis, adanya produk berlabel POF yang dijual di outlet Ranch Market di Jakarta ini merupakan bukti bahwa Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah kecolongan. Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi menyayangkan produk makanan kemasan impor (snack) berlabel POF tersebut bisa masuk ke Indonesia. Sebab labelisasi POF tersebut merupakan salah satu bentuk kampanye antisawit yang disuarakan Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS). “Karena itu, Kemendag harus menarik produk impor tersebut dari pasaran. Harus ditolak (snack berlabel POF) itu. Kalau produk itu sudah masuk ke Indonesia mestinya ditarik saja dari peredaran,” ujar Viva Yoga ketika dihubungi dari Jakarta.
Bahkan, kata dia, makanan dalam kemasan yang diimpor seharusnya menggunakan minyak sawit dari Indonesia. Dengan demikian, aturan tersebut bisa membantu para petani sawit yang menguasai 43% dari total 9 juta hektare (ha) lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Aturan tersebut diperlukan untuk melindungi pasar dalam negeri dari serbuan makanan produk asing yang banyak menggunakan minyak nabati nonsawit. Apalagi, beberapa negara di Eropa seperti Prancis, Belgia, dan Italia sejak dua tahun lalu telah menerapkan aturan labeling POF dalam setiap produk yang menggunakan minyak nabati nonsawit.
Hal senada disuarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Bahkan secara resmi Gapki telah mengajukan protes kepada Kemendag soal produk impor berlabel POF tersebut. “Kami sudah kirimkan surat resminya ke Pak Thomas (Menteri Perdagangan Thomas Lembong) hari ini (19/2). Kami menyayangkan produk yang menggunakan label seperti itu bisa masuk ke Indonesia. Kami minta supaya produk tersebut ditarik dari peredaran,” ujar Sekjen Gapki Togar Sitanggang.
Menurutnya, masuknya produk tersebut ke Indonesia kontra produktif terhadap upaya pemerintah dan pemangku kepentingan sawit nasional dalam melakukan sosialisasi kelapa sawit Indonesia yang ramah lingkungan di luar negeri. “Ini sangat menyakiti industri sawit nasional, di mana sekitar 43% kebun sawit di Indonesia dimiliki para petani dan 30% produksinya juga dimiliki petani,” katanya.
Importir produk makanan dalam kemasan tersebut juga dinilai tidak memiliki sense of belonging terhadap industri sawit nasional yang telah terbukti banyak memberikan kontribusi terhadap ekonomi nasional. “Ada sekitar 4 juta kepala keluarga yang terlibat langsung di industri sawit. Kalau dalam satu keluarga ada 4-5 orang, maka ada sekitar 16-20 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari sawit,” ujar Togar.
Menurut Togar, pihaknya menemukan makanan kemasan (snack) impor tersebut di Ranch Market di Lotte Avenue Kuningan dan Oakwood Kuningan Jakarta. Makanan tersebut merupakan produk Italia.
Sementara itu, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Srie Agustina menyebutkan bahwa label informasi seperti ini mendiskreditkan produk sawit secara tidak langsung. Ini merupakan bentuk black campaign terselubung kepada produk sawit. Label produk makanan dalam rangka informasi untuk meningkatkan daya saing diperbolehkan saja seperti sertifikasi HCCP atau label pemenang award. “Kami akan mengecek langsung ke lokasi,” kata Srie.
sumber:beritasatu.com