TOTABUAN.CO – Pemerintah diminta membenahi mekanisme kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berdampak langsung terhadap kenaikan harga kebutuhan sehari-hari.
“Di Indonesia itu, kalau ada kenaikan harga, itu tidak akan pernah ada penurunan harga. Ini jarang disadari pemerintah, jika tidak mendalami masalah ekonomi dalam negeri,” kata Profesor Suko Wijono, yang juga rektor Universitas Wisnuwardhana (Unidha) Kota Malang, Sabtu (4/4) pagi.
Hal itulah, katanya, yang membedakan kultur ekonomi Indonesia dengan negara-negara di Eropa, Australia dan Amerika.
Jika sebelumnya harga premium ditetapkan Rp 6.500 per liter, maka harga beras miskin tidak lebih dari Rp 5.000 per kilogram.
Begitu premium dinaikkan menjadi Rp 8.500 per liter (17 November 2014), maka harga beras miskin melonjak menjadi Rp 7.500 per kilogram.
Ketika pemerintahan Presiden Jokowi sempat menurunkan harga premium menjadi Rp 7.600 per liter (1 Januari 2015), maka harga beras bertahan di harga Rp 7.000 per kilogram.
Namun, saat harga premium kembali turun menjadi Rp 6.700 per liter (19 Januari 2015), maka harga beras miskin tetap Rp 7.000 per kilogram.
Demikian pula ketika harga premium naik dari Rp 6.700 per liter menjadi Rp 6.900 (1 Maret 2015), harga beras miskin justru naik menjadi Rp 7.500 per kilogram.
Ketika harga premium kembali naik menjadi Rp 7.400 per liter (28 Maret 2015), harga beras miskin juga terkatrol naik menjadi Rp 8.000 per kilogram.
“Kasihan rakyat,” ujar guru besar dari Universitas Negeri Malang (UM) itu.
sumber: beritasatu.com