TOTABUAN.CO -Anjloknya harga minyak hingga kisaran US$ 30 per barel saat ini, membuat energi baru terbarukan (EBT) semakin terlihat mahal. Rendahnya harga minyak diperkirakan masih akan berlanjut hingga beberapa tahun ke depan.
Meski begitu, pemerintah Indonesia menyatakan akan tetap berkomitmen memajukan EBT.
Pekan lalu, Kementerian ESDM bekerja sama dengan International Energy Agency (IEA) menggelar Bali Clean Energy Forum (BCEF) di Nusa Dua, Bali, yang dihadiri oleh pejabat dari 26 negara, lima diantaranya menteri. Forum ini menghasilkan Deklarasi Bali Clean Energy Forum yang intinya adalah, komitmen memperkuat pembangunan EBT. Deklarasi ini merupakan penegasan bahwa pemerintah Indonesia dan negara-negara lainnya tak akan mundur dalam pengembangan EBT, meski secara ekonomis EBT lebih mahal dibanding energi fosil.
Di Indonesia, cadangan energi fosil semakin menipis. Cadangan terbukti minyak bumi hanya 3,6 miliar barel, bakal habis dalam 13 tahun lagi dengan asumsi produksi 288 juta barel per tahun. Cadangan terbukti gas bumi saat ini 100,3 TSCF, hanya akan bertahan sampai kurang lebih 34 tahun lagi dengan asumsi produksi 2,97 TSCF per tahun.
Karena itu, ‘harta karun’ EBT harus segera dioptimalkan untuk menggantikan energi fosil. Bila terus bergantung pada energi fosil, Indonesia bakal mengalami krisis energi dalam waktu 2-3 dekade mendatang.
Untuk mengetahui sejauh mana komitmen pemerintah terhadap EBT di tengah harga energi fosil yang murah, detikFinance berkesempatan mewawancarai Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Rida Mulyana, di sela-sela acara BCEF di Nusa Dua, Bali pekan lalu. Berikut petikannya:
Bagaimana dampak jatuhnya harga energi fosil terhadap EBT?
Orang menjadi skeptis terhadap pengembangan EBT, dilatarbelakangi ‘pemikiran miopi’. Banyak yang bertanya kenapa kita nggak beli energi yang murah saja, saya jawab bahwa itu jangka pendek. Siapa yang bisa menjamin besok harga minyak dan batu bara masih rendah? Kita tetap harus memajukan EBT, apalagi UU Energi mengharuskan itu.
Pengembangan EBT itu bukan keinginan saya, Pak Sudirman (Menteri ESDM), atau Presiden (Jokowi), tapi amanah Undang Undang. Ndilalah (kebetulan) sama dengan tren global, nggak ada pilihan lain lagi. Pengembangan EBT itu bukan pilihan, itu suatu keharusan. Apalagi dipertegas dengan PP 79 (Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional), prinsip nomor satu adalah memajukan EBT. Kenapa PP itu berani menyatakan demikian? Karena UU Energi sudah bilang bahwa EBT harus dikedepankan. Jadi salah kalau kita berhenti, apalagi mundur, nggak ada waktu untuk menoleh ke belakang.
Tapi dengan harga EBT saat ini yang masih mahal, pembeli listrik lebih memilih batu bara yang harganya murah?
Nggak adil bila EBT dibandingkan dengan harga batu bara yang lagi rendah, itu ‘pemikiran miopi’. Itu hanya jangka pendek, bayangkan kalau itu berlangsung 20 tahun, mau menunggu batu bara habis dulu baru kita menengok EBT? Nggak bisa.
Arab Saudi yang kaya minyak saja mau mengembangkan EBT. Kedatangannya ke sini (Bali Clean Energy Forum) saja sudah bikin heran, orang Jepang sampai bilang ‘gila ini Indonesia, kok bisa mendatangkan Menteri Perminyakan Arab Saudi?’. Nggak pernah di sidang-sidang IEA (International Energy Agency) ada negara-negara Arab, selama ini berseberangan. Dengan diundang dan hadirnya Arab Saudi di sini itu luar biasa.
Tapi kemarin Arab Saudi kok tidak mau ikut menandatangani deklarasi BCEF?
Itu kan voluntary sifatnya, nggak binding. Tidak ada objection dari Arab Saudi. Saya ikut kok di Ministerial Meeting. Tapi lihat di belakang itu, Arab Saudi yang 200 tahun lagi belum tentu kehabisan minyak, kok sudah menengok ke EBT? Kita yang bisa jadi minyaknya sudah habis besok masih keukeuh pakai minyak karena masih murah. Kalau pemikiran miopi ya maunya yang sekarang murah saja.
Jadi EBT harus dikembangkan berapa pun harganya, biar pun mahal?
Iya, harus.
Tapi PLN melihat harga EBT masih mahal dan enggan membelinya dalam skala besar?
Yang berkeberatan dengan feed in tariff untuk EBT yang saya keluarkan adalah PLN. Tapi PLN tidak salah karena dia juga dipaksa bertindak sebagai korporasi. Mana yang lebih murah, pasti dia lebih memilih itu.
Masalahnya adalah PLN tidak saja korporat, dia juga mengemban tugas negara. Namanya juga BUMN, dan dijamin bahwa BUMN itu tidak akan bangkrut, harusnya mereka mengikuti apa yang menjadi kebijakan pemerintah atas nama negara. Makanya Pak Presiden bilang ‘PLN, listrik itu bukan lagi urusan PLN’ dan Pak Wapres bilang ‘PLN kamu tidak salah berlaku sebagai korporasi, tapi tolong kedepankan kepentingan negara’.
Apakah dalam jangka panjang EBT akan lebih murah daripada energi fosil?
Kalau lihat tren global, misalnya di Uni Emirat Arab (UEA), listrik dari solar cell di sana cuma US$ 6 sen/kWh. Di kita masih US$ 18 sen/kWh, artinya bisa turun. Di UEA sana investor EBT dikasih relaksasi pajak, tax holiday, kita belum melakukannya, harus diobrolkan dengan BKF (Badan Kebijakan Fiskal).
Sumber:detik.com