TOTABUAN.CO-Dalam waktu dekat, bukan mustahil dolar Amerika Serikat (AS) akan menuju level Rp 12.000 atau lebih. Bila melihat tren pergerakan yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir.
Demikianlah diungkapkan Chatib Basri, Visiting Fellow, University of California, San Diego.
“Rupiah nanti bisa di level Rp 12.000. Sebenarnya tidak akan membuat saya surprise, karena bahkan bisa lebih dari itu tergantung inflow (arus dana asing yang masuk) sebanyak apa,” jelasnya.
Cerita penguatan rupiah, tidak berbeda jauh dari saat melemah. Selalu ada dua faktor, yaitu eksternal dan internal. Untuk negara seperti Indonesia yang masih menata fundamental ekonomi, faktor eksternal jelas berpengaruh besar.
Eksternal, dimulai dari kondisi AS. Suku bunga acuan negara tersebut yang kenaikannya didengungkan sejak akhir 2013 sudah terealisasi pada Desember 2015, dengan realisasi 25 basis poin.
Harapannya, ekonomi AS bisa kembali bergairah dan tumbuh lebih cepat. Maka kemudian muncul rencana kenaikan suku bunga acuan lagi secara bertahap selama 2016. Namun rencana kenaikan suku bunga acuan ini dipatahkan oleh Bank Sentral AS sendiri, yaitu Federal Reserve (The Fed).
“Ekonomi global dan AS masih lemah, Yellen (Gubernur bank sentral AS) belum akan menaikkan bunga tahun ini,” ungkap Mantan Menteri Keuangan tersebut.
Kemudian Jepang. Ekonomi negeri sakura tersebut masih lesu, bahkan deflasi masih terjadi berkepanjangan. Sehingga solusi yang dikeluarkan adalah penerapan suku bunga negatif. Tujuannya, agar masyarakatnya lebih banyak membelanjakan uangnya dibandingkan harus disimpan di bank.
Sebab dengan suku bunga negatif, artinya orang yang menyimpan uang di bank justru harus membayar bunga, bukan mendapatkan bunga.
Tapi kenyataannya berbeda. Yen yang diharapkan melemah justru malah terapresiasi. Sebab orang Jepang cenderung membeli yen untuk kemudian dipindahkan ke negara lain dengan bunga lebih tinggi atau dikenal dengan nama carry trade.
Eropa juga punya nasib yang tidak berbeda jauh, yakni menerapkan suku bunga negatif.
“Setelah itu kondisinya orang bingung mau simpan uang di mana. Jadi mereka akan cari tempat kalau investasi di portfolio itu memiliki return yang besar,” paparnya.
Pasar keuangan AS memang dianggap tempat paling aman ketika banyak ketidakpastian muncul. Namun, bila keuntungan yang ditawarkan sangat rendah, investor juga pasti akan berpikir ulang. Maka opsi selanjutnya adalah negara berkembang dengan prospek cerah.
Nama negara yang muncul pada tataran teratas adalah India, Meksiko dan Indonesia. Sementara Brasil, Afrika Selatan, Rusia bahkan Turki berada dalam situasi yang sangat buruk.
Bandingkan, berinvestasi pada obligasi pemerintah Indonesia dalam bentuk dolar AS dengan tenor 10 tahun ditawarkan yield sekitar 4,6%. Sementara di AS sendiri hanya sekitar 1%. Selisih sekitar 3,6% sangat menguntungkan buat investor.
“Sama-sama dolar AS, nggak ada risiko nilai tukar, orang mending taruh di pemerintah Indonesia, dan digaransi dan dapat risk free,” terang Chatib.
Dari internal, Indonesia berhasil melahirkan data-data ekonomi yang positif. Pertumbuhan ekonomi, meskipun secara akumulasi 2015 realisasinya hanya 4,78%, namun pada kuartal IV-2015 ekonomi melonjak ke level 5,04%. Inflasi 3,35% dan defisit transaksi berjalan berhasil di bawah 3% terhadap PDB.
Paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sejak akhir tahun lalu juga memberikan optimisme untuk investor. Banyak kebijakan yang bersifat langsung dan memberikan efek signifikan untuk keberlanjutan reformasi struktural.
“Pak Darmin (Menko Perekonomian) dan tim sudah memberikan kinerja yang patut diapresiasi investor,” pungkasnya.
sumber:detik.com