TOTABUAN.CO – Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto mengatakan, tujuan hilirisasi sawit adalah untuk meningkatkan nilai tambah produk berbasis sawit, penyerapan tenaga kerja, dan efisiensi penggunaan lahan. Di sisi lain, untuk menghindari situasi industri dalam menghadapi gejolak harga komoditas di pasar sawit dunia. Semakin ke hilir, pengaruh gejolak harga akan semakin kecil. “Kebijakan bea keluar (BK) yang dikeluarkan pemerintah sejak 2010 telah membuktikan mampu mendorong tumbuhnya industri hilir sawit,” kata dia di Jakarta.
Panggah menuturkan, sebelumnya sebanyak 70% ekspor sawit dalam bentuk produk hulu atau mentah berupa minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), namun saat ini kondisi terbalik yakni 70% produk ekspor sudah dalam bentuk produk intermediate dan hilir berbasis sawit. “Kebijakan ini terus dievaluasi, khususnya tingkat pengenaan BK pada masing-masing produk yang pada dasarnya bersifat progresif yang mana pengenaan BK makin ke hilir makin kecil,” kata Panggah.
Pada perkembangannya saat ini, lanjut dia, harga komoditas CPO mengalami penurunan sampai di bawah US$ 500 per ton. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan terhadap pungutan ekspor CPO dan produk hulu lainnya untuk mendongkrak harga CPO. “Pungutan itu untuk mendongkrak harga CPO dengan mendorong diversifikasi pasar dalam negeri. Seperti biodiesel sebagai campuran solar melalui penggunaaan B20, ini harus sukses. Dalam jangka pendek-menengah diharapkan mampu menyelamatkan industri basis sawit dari gejolak harga sampai tingkat terendah sebagai dampak dari menurunnya harga minyak bumi,” kata Panggah.
Dana perkebunan, ujar Panggah, juga diperuntukkan bagi peremajaan (replanting) tanaman sawit tua agar tetap mencapai produktivitas tinggi. Secara bertahap, harga TBS (tandan buah segar) juga didorong agar meningkat dengan terus menaikkan standar terkait program sustainability palm oil dan palm oil green industry. Pantauan terakhir, harga CPO telah meningkat dari US$ 475 per ton menjadi US$ 500 per ton. “Dengan demikian, kebijakan ini telah on the right track,” kata Panggah.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono yang menyatakan bahwa hilirisasi industri berbasis CPO sudah on the right track (di jalur yang tepat). Pada 2015, ekspor CPO dan turunannya mencapai 24 juta ton dan ekspor dalam bentuk CPO hanya 7 juta ton atau tidak sampai 30% dan selebihnya bukan CPO atau dalam bentuk refined atau terporses. “Ini kadang-kadang penyelenggara pemerintah yang tidak tahu. Ekspor sudah lebih dari 70% dalam bentuk hilir,” ungkap Joko.
Dalam konteks saat ini, kata Joko, program hilirisasi sawit di Tanah Air sudah di jalan yang benar. Yang menjadi pertanyaan adalah apabila memang akan dilakukan hilirisasi ke tingkat industri yang lebih lanjut memang tidak cukup hanya dalam bentuk imbauan. “Sekarang, mau hilirisasi yang mana, yang seperti apa? Ini sebenarnya yang tidaka ada kesamaan. Misalnya, industri oleokimi itu naik terus, tapi fasilitas pemerintah sudah memadai belum? Intinya, banyak hal yang harus dilakukan untuk memenangkan pasar. Apalagi kalau tujuannya adalah produk akhir bernilai tinggi, proteksinya harus lebih,” kata Joko.
Sumber:beritasatu.com