TOTABUAN.CO – Harga minyak terus merosot dan efeknya pun sulit dihindari. Kepala Bagian Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Elan Biantoro mengakui perusahaan minyak satu per satu kini mulai berguguran.
Dia menyebutkan, dari 330 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sekarang sudah berkurang menjadi 312 KKKS. Dari 312 KKKS yang tersisa, sekitar 232 KKKS eksplorasi, sekitar 80 KKKS mengelola blok produksi.
“Dari 232 KKKS eksplorasi, sekitar 60 KKKS kontraknya akan diterminasi,” kata Elan saat diminta penjelasan.
Tak hanya itu, perusahaan minyak juga mulai melepas beberapa aset yang dianggap tidak menguntungkan saat harga anjlok seperti ini.
Elan menuturkan, dengan harga minyak US$ 30 per barel, perusahaan minyak tentu harus menanggung rugi karena biaya produksi yang lebih tinggi ketimbang harga jual. Kalau pun masih untung, keuntungan yang direguk sangatlah tipis.
Rata-rata biaya produksi minyak dan gas nasional sekitar US$ 24-US$ 25 per barel. Jika dipisahkan, rata-rata biaya produksi gas sekitar US$ 16 per barel setara minyak. Sedangkan minyak US$ 30 per barel.
“Kalau rata-rata US$ 30 per barel, itu berarti ada yang biaya produksinya US$ 10, US$ 20, US$ 30, US$ 40, bahkan ada yang US$ 60 per barel. Dengan harga jual US$ 30 per barel, perusahaan yang biaya produksinya di atas US$ 30 per barel ya rugi,” ungkap dia.
Perusahaan-perusahaan tersebut harus dibantu pemerintah agar jangan sampai kegiatan operasional mereka berhenti. Sebab, jika sampai berhenti maka tentunya akan berpengaruh ke produksi migas nasional dan ujung-ujungnya berimbas ke penerimaan negara dari sektor hulu migas.
Sumber:liputan6.com