TOTABUAN.CO — Bank Indonesia (BI) merilis aturan yang meminta money changer atau penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA) bukan bank, memisahkan kegiatan usaha pengiriman uang (KUPU) atau transfer dana sekaligus mendaftarkan menjadi badan hukum yang terpisah.
Aturan yang mengharuskan pemisahan antara kegiatan usaha penukaran uang dan transfer dana itu diberlakukan paling lambat 1 Januari 2015. Adapun selama ini, money changer boleh melakukan kegiatan usaha penukaran sekaligus transfer dana dalam satu badan hukum.
“Imbauan tersebut merupakan bentuk penertiban,” kata Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Ida Nuryanti di Jakarta, Selasa (23/9).
Aturan tersebut tertuang dalam peraturan BI (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank. Peraturan yang diterbitkan 11 September 2014 itu merupakan pengganti PBI Nomor 12/22/PBI/2010 tentang Pedagang Valuta Asing (PVA).
Adapun pengaturan mengenai PVA bukan bank dicabut, namun yang berkaitan PVA bank masih tetap berlaku karena saat ini menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Kalau mereka ingin tetap menjalankan transfer dana harus menjadi badan hukum yang terpisah. Kami memberikan batas waktu transisi sampai 1 Januari 2015 untuk memisahkan diri menjadi entitas yang berbeda,” ujar dia.
Menurut Ida, selama ini kegiatan KUPVA bukan bank kerapkali tidak tertib. Mereka tidak memiliki manajemen yang transparan karena sering mencampur kegiatan penukaran uang dan transfer dana. Melalui PBI baru, BI memberikan pilihan mendaftarkan kegiatan usaha pengiriman uang menjadi badan hukum atau menghentikan usaha transfer dana tersebut.
“Untuk KUPVA bukan bank yang sudah berizin tidak perlu izin baru untuk pendirian KUPU-nya. Izinnya akan kami putihkan, sebab mereka sudah memenuhi persyaratan,” jelas dia.
Pemisahan kegiatan usaha ini, jelas dia, juga bertujuan agar KUPVA bukan bank tidak tertinggal jauh dari industri perbankan. “Mereka akan memiliki sistem manajemen yang bagus, terhindar dari kasus money laundry (pencucian uang), dan terrorist financing,” kata dia.
Selain itu, Ida menjelaskan, melalui aturan baru ini uang kertas asing (UKA) wajib diserahkan secara fisik pada pembeli valas atau melalui transfer intrabank atau antarbank. Transfer hanya boleh berasal atau ditujukan kepada rekening Penyelenggara KUPVA bukan bank.
Sementara penyerahan rupiah dapat dilakukan secara fisik atau melalui transfer intrabank maupun antar bank sepanjang berasal dan ditujukan untuk rekening penyelenggara KUPVA bukan bank.
Selailn itu, penyelenggara KUPVA bukan bank juga dilarang bertindak sebagai agen penjual TC, melakukan kegiatan margin trading, spot, forward, swap, dan transaksi derivatif.
Berdasarkan data BI, sampai September 2014 total transaksi KUPVA bukan bank meningkat. Rata-rata pembelian uang kertas asing (UKA) dan cek pelawat (travelers cheque/TC) mencapai Rp 7,9 triliun per bulan. Sedangkan penjualan UKA sebesar Rp 7,8 triliun setiap bulan. Jumlah KUPVA bukan bank di Indonesia kini mencapai 916 kantor pusat yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air, kecuali di Kota Tasikmalaya (Jawa Barat) dan Lhokseumawe (Aceh).
KUPVA bukan bank berizin terbanyak berada di wilayah DKI Jakarta dengan 346 KUPVA atau sebesar 38 persen. Selanjutnya dari wilayah Denpasar (Bali) sebesar 14 persen atau 128 KUPVA, Batam (Riau) 13 persen atau 122 KUPVA, Medan 5 persen atau 49 KUPVA, dan Pontianak 4 persen dengan 37 KUPVA. “Dari 916 KUPVA bukan bank sudah ada 40 yang memisahkan badan hukum KUPU-nya,” ungkap Ida.
Sumber: Beritasatu.com