TOTABUAN.CO — Anak usaha PT Kereta Api Indonesia (KAI), yaitu PT Kereta Commuter Jakarta (KCJ) yang menjadi operator KRL Jabodetabek, akan mendatangkan 860 kereta bekas dari Jepang hingga 2019. Direktur Utama KCJ Tri Handoyo mengatakan, pembelian kereta bekas dan bukan kereta baru demi menekan biaya ongkos produksi, sehingga harga tiket bisa murah.
Tri Handoyo mengatakan, setiap tahun, KCJ akan menerima kehadiran sekitar 160-an unit kereta bekas dari Jepang. Kata dia, biaya membeli kereta bekas layak pakai jauh lebih murah, daripada membeli armada KRL baru.
“Harga kereta bekas per unit sebesar Rp1 miliar, sedangkan kereta baru mencapai Rp12 miliar per unit. Selama 6 tahun, Itu yang kita beli terus dari Jepang. Kita nggak ada beli baru karena tarif sekarang relatif masih murah,” kata Tri Handoyo di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Senin (10/1/2014).
Dia mengungkapkan, bila dipaksakan membeli kereta baru, tarif KRL yang dibebankan kepada penumpang bisa melambung tinggi.
Kepala Humas KAI Makmur Syaheran menjelaskan, PT KAI bisa saja membeli armada kereta baru untuk memperkuat daya angkut KRL Jabodetabek. Namun, ada beberapa konsekuensi yang harus ditanggung oleh pengguna KRL, salah satunya harga tiket bisa menggelembung tinggi.
“Bisa-bisa, harga tiket KRL Bogor-Jakarta Kota Rp 50.000 (belum subsidi), sementara saat ini tarif sekitar Rp5.000, karena telah sudah disubsidi pemerintah sekitar Rp 4.000, padahal
penumpang KRL tidak semua datang dari kalangan mampu,” jelasnya.
Terkait perhitungan tarif, dia menuturkan, pihaknya memasukan perhitungan kemampuan daya beli penumpang KRL dengan memberikan layanan yang layak dan harus tetap untung sesuai undang-undang perseroan terbatas.
“KAI siap menerima penugasan untuk kereta perkotaan dan KCJ menerima penugasan untuk KRL, namun kita tetap harus untung nggak boleh negatif. Meski untung, itu akan dipakai investasi untuk peningkatan pelayanan,” pungkasnya.
sumber : suara.com