Siang itu aku dikejutkan dengan ocehan dari keponakanku.
“Haha.. bunda tahu nda, dorang bilang mama Meti kata “Tukang Dinangoi Naik Haji” “ (Bunda tahu nggak, katanya mama Meti tukang dinangoi naik haji) serunya di barengin dengan tawa lucunya.
Bukan balik membalas ocehan keponakanku itu tapi aku terdiam dua detik dan senyum menghiasi bibirku setelahnya. Aku meng-iyakan julukan yang telah orang-orang berikan.
Setelah menyudahi makan siangku aku langsung menyalakan laptop dan mulai menuliskan cerita ini.
Teringat sinetron di TV yang sudah menjadi film favorit masyarakat Indonesia. Ya, apalagi kalau bukan si “Tukang Bubur Naik Haji”. Sinetron islami drama komedi yang diperankan oleh Mat Solat dkk, yang berhasil mendapatkan penghargaan juga bersama pemain-pemainnya. Sinetron tersebut banyak mengandung makna dan pelajaran hidup yang bisa di ambil oleh penontonnya.
Hal ini juga tidak ada bedanya dengan tetangga kami. Beliau bernama U. Potabuga seorang janda tua yang tidak pernah pantang menyerah dalam menghadapi pasang surut kehidupan terlebih lagi dalam meluluskan niatnya untuk bisa menunaikan ibadah haji.
Beliau hidup secara sederhana tetapi sanggup menghidupi keluarganya. Beliau memiliki satu orang anak dan tiga orang cucu. Bersamanya beliau tinggal mengarungi hidup pantang menyerah untuk mencukupi kebutuhan ekonomi kelurganya.
Setiap pagi hari beliau selalu mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat dinangoi. Seperti sagu, gula merah / gula aren, dan kelapa. Selesai menyiapkan bahan-bahannya, kemudian beliau menyalakan tungku dan memasak dinangoi dengan menggunakan peralatan tradisional. Sagu diletakkan di atas wajan yang terbuat dari tanah liat berbentuk bulat kecil dan beralaskan daun pisang. Dimasak di atas tungku api. Setelah masak dinangoi ini akan dibumbuhi dengan gula merah / gula aren yang sudah diiris tipis dan kembali dibungkus menggunakan daun pisang yang sudah dijadikan alas tadi. Begitu seterusnya dimasak satu per satu hingga mencapai jumlah yang cukup untuk dagangannya.
Setelah selesai memasak dinangoi beliau lalu keluar rumah. Melangkahkan kakinya untuk menjual dagangannya ini dari rumah ke rumah. Harga yang ditawarkan saat ini adalah Rp. 2.500 per buah. Masyarakat sangat suka dengan dagangannya ini, karena selain rasanya yang enak, menurut saya, sangat sedikit manyarakat Bolaang Mongondow yang menjual makanan khas seperti itu.
Apalagi beliau mempunyai sapaan khas pada calon pembeli dinangoinya dengan kata-kata“maukah kamu??” jika tidak membeli jawaban ulangnya adalah “jalan terus.” Kata-kata ini menjadi istilah khasnya yang sudah sangat melekat di telinga masyarakat sekitar dan bahkan sudah menjadi hiburan bagi yang mendengar. Ya, beliau ramah juga lucu. Ini menjadi daya tarik tersendiri untuk calon pembeli.
Ketrampilan beliau berdagang “Dinangoi” (makanan khas Bolaang Mongondow) sudah ditekuninya sejak tahun 1975.
Dari keuntungan dagangan itulah beliau bisa menghidupi keluarganya dengan penuh kasih sayang.
Kadang tidak hanya dinangoi, tapi cemilan seperti pisang goreng, binolos (terbuat dari ubi jalar dan dicampur dengan gula merah/gula aren), dan satu lagi kolak tradisional khas Bolaang Mongondow yang dicampur dengan kacang hijau dan sagu) dikenal dengan “dinondoyog”.
Menjadi ibu rumah tangga, tanpa gaji besar ataupun pensiunan lainnya seperti yang dinikmati orang lain. Keinginan untuk bisa menunaikan ibadah haji tidak pernah urung dalam niatnya.
Hanya dengan bahan-bahan sederhana inilah beliau bisa menghasilkan uang dan menabung agar bisa menunaikan ibadah haji nanti.
Terlihat begitu sederhana, tapi tidak mudah untuk bisa menggapai itu semua. Harus bisa mengeluarkan keringat dan niat yang kuat.
Dan sekarang alhamdulillah beliau sudah terdaftar dan disahkan sebagai calon jama’ah haji periode 2013 yang siap diberangkatkan.
Baru-baru ini di adakan acara syukuran di rumah beliau menjelang keberangkatan mereka ke tanah suci. Para undanganberdatangan dengan suka cita dan memberikan ucapan selamat dengan linangan air mata. Ohh.. tidak saya tidak bisa menahan aira mata ini yang sudah terbendung dan jatuh membasahi pipiku. Sama seperti mereka yang sedang larut dalam haru kebahagiaan. Apalagi saya juga merupakan salah satu saksi dari perjuangan beliau. Jadi Suasana ini makin terasa, seilir dengan flashback tentang beliau yang mengendap di kepalaku saat dia menjual dagangan-dagangan nya.
Tidak sedikit di luar sana yang memiliki kelebihan tapi, belum memiliki kesempatan untuk menunaikan rukun islam yang ke lima ini. Dan mereka yang di pandang sebelah mata, adalah mereka yang benar-benar berjuang semata-mata karena Allah SWT.
Kisah ini InsyaAllah bisa menjadi pelajaran untuk kita. Jikalau kita bersungguh-sungguh maka Tuhan pun akan membantu kita untuk memudahkan menjalaninya, meskipun itu terlihat berat oleh orang lain.
Tidak hanya di TV (sinetron) “Tukang Bubur Naik Haji” tapi di Kotamobagu “Tukang Dinangoi Naik Haji” cukup memberikan pelajaran yang berharga untuk kita. Bahwa sesungguhnya harta bukanlah sumber kebahagiaan untuk kita, melainkan niat yang tulus dan ikhlas untuk menjalaninya. Dan apabila kita akan menekuninya, maka disitulah letak kebahagiaan kita yang sesungguhnya karena Allah akan mendengar do’a-do’a orang yang bersungguh-sungguh karenaNya.
Aamin..
Semoga ini bermanfaat
Penulis : wr.kdgkg