TOTABUAN.CO BOLTIM — Aktivitas penambangan emas ilegal di aliran Sungai Desa Paret, Kecamatan Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), kini memasuki level yang mengkhawatirkan. Sejumlah ekskavator terlihat bekerja tanpa henti di tengah badan sungai, mengeruk material secara masif dan tanpa mempertimbangkan keselamatan warga maupun aturan hukum yang berlaku.
Material hasil galian menumpuk di sepanjang aliran sungai. Timbunan tersebut mempersempit jalur air, meningkatkan sedimentasi, serta membuat sungai semakin dangkal. Situasi ini menjadi alarm bahaya, terutama menjelang musim hujan yang diperkirakan datang dalam waktu dekat.
“Kalau hujan deras turun, air pasti meluap. Banjir besar bisa langsung menerjang permukiman warga,” tegas pemerhati lingkungan sekaligus pendiri LSM Rimbawan, Ridwan Naukoko.
Ironisnya, operasi ilegal ini berlangsung seolah tanpa hambatan. Tidak terlihat adanya langkah tegas dari pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum, padahal aktivitas tersebut secara jelas melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa setiap kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan wajib memiliki izin, analisis dampak lingkungan (Amdal), serta dilarang keras melakukan perusakan kawasan sungai.
Selain itu, praktik pertambangan tanpa izin (PETI) juga bertentangan dengan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020, yang mengatur bahwa setiap kegiatan penambangan baik skala kecil maupun besar harus memiliki izin resmi dan tidak boleh dilakukan di badan sungai.
Namun kenyataannya, puluhan alat berat bebas beroperasi, sementara masyarakat hanya bisa menjadi penonton atas perusakan lingkungan di depan .
Aktivitas pengerukan dengan ekskavator di tengah aliran sungai bukan sekadar melanggar hukum—kegiatan ini merupakan ancaman langsung bagi ratusan kepala keluarga yang tinggal di hilir. Sungai yang dangkal dan tersumbat material menjadi pemicu utama banjir bandang, yang bisa terjadi kapan saja.
Warga semakin cemas, apalagi indikasi bahwa operasi ini diduga didanai oleh para cukong yang memanfaatkan masyarakat kecil sebagai pekerja lapangan, membuat persoalan semakin kompleks.
Jika tidak ada tindakan cepat dan tegas dari pemerintah maupun aparat penegak hukum, Desa Paret terancam menghadapi bencana ekologis yang sepenuhnya merupakan hasil dari kelalaian dan pembiaran manusia. (*)







