TOTABUAN.CO BOLSEL — Apresiasi yang dilakukan DPRD, pemerintah kecamatan, beberapa kepala desa dibantu anggota TNI -Polri di Kecamatam Pinolosian Tengah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) dalam rangka menertibkan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI).
Penertiban itu dilakukan menyusul sikap warga yang menolak kegiatan PETI yang berada di hulu Desa Tobayagan yang sudah membahayakan warga. Sayangnya sudah hampir lima tahun beroperasi, baru kali ini ditertibkan. Tak heran dampak dari aktivitas tersebut telah dirasakan warga. Terutama mereka yang tinggal di Daerah Aliran Sungai (DAS).
Lumpur material sisa pembuangan proses pengolahan, dibawa arus air yang menyebabkan areal persawahan terganggu. Begitu juga dengan selokan di perkampungan terjadi pendangkalan yang menyebabkan luapan air ketika hujan.
Air yang tercampur CN menyebabkan warga takut mandi, begitu juga dengan para pemilik ternak.
Kendati begitu, para cukong hingga kini tidak tersentuh hukum sama sekali. Bahkan masih aktif melakukan pengerukan material di bagian hulu.
Bagi warga, langkah penegakan hukum merupakan jalan terakhir untuk menjerat para cukong. Namun harapan itu rupanya itu tidak dilakukan karena mereka masih bebas mengeruk meski telah terjadi kerusakan hutan dan lingkungan.
“DPRD punya tanggung jawab menyelamatkan lingkungan. Pun demikian dengan pihak kepolisian sama-sama bersinergi,” kata Rudin warga Tobayagan.
PETI yang dijalankan para cukong sudah berskala besar. Limbah Sianida sisa pengelolaan material emas dibuang ke sungai. Hal itu menjadi kekhawatiran masyarakat karena berbahaya.
Dengan ancaman serius yang dihadapi masyarakat Tobayagan, banyak yang bertanya-tanya kenapa tambang emas ilegal ini dibiarkan. Siapa yang ada di belakang para cukong. Hany Budiman dan Fany Budiman, serta Rukly Makalalag dan Kunu Makalalag.
Mengapa mereka bebas mengeruk hingga merusak hutan yang sejak dari ratusan tahun terjaga. Siapa yang membackup mereka sehingga berani mengeruk material as tanpa izin. Berani kah Polda Sulut mengusut ?. (*)