TOTABUAN.CO BOLSEL — Di tengah hiruk pikuk konferensi pers yang dipenuhi wartawan, Inton Budi Santoso duduk dalam diam. Ia bukan pejabat, bukan tokoh masyarakat, bahkan bukan seseorang yang biasa tampil di depan publik. Ia hanya seorang ayah. Ayah dari Revan Kurniawan Santoso alias Aan, yang meninggal dunia saat berada dalam tahanan Polres Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel).
Saat diminta berbicara, langsung di hadapan awak media, Inton menatap lurus ke arah kamera. Suaranya pelan, namun sarat makna.
“Bapak Kapolda Sulut, saya bukan siapa-siapa. Tapi saya mohon, dari hati saya yang paling dalam. Tolong bantu anak saya, walaupun dia sudah meninggal. Tolong, jangan biarkan dia pergi tanpa keadilan. Lihat saya bukan sebagai rakyat kecil. Tapi sebagai sesama ayah. Saya tidak minta dihormati. Saya cuma minta, anak saya tidak mati sia-sia.”
Inton datang jauh-jauh dari Desa Sondana, Kecamatan Bolaang Uki, Kabupaten Bolsel, bukan untuk mencari panggung. Ia hanya datang dengan satu tujuan. Meminta keadilan untuk anaknya, yang menurutnya, bukan meninggal, tapi dirampas nyawanya dengan kejam.
Aan meninggal dunia pada 22 Agustus lalu. Pihak keluarga menduga kuat, ia dianiaya saat berada dalam tahanan Polres Bolsel. Pukulan benda tumpul di dada dan paha, hingga pengakuan terakhir Aan dalam rekaman video, menjadi bukti awal yang kini mereka perjuangkan.
Inton tak sendiri. Ia didampingi tim kuasa hukum dan telah melaporkan secara resmi Kasat Eeskrim Polres Bolsel, Iptu Dedy Matahari, ke Bidang Propam Polda Sulawesi Utara.
Menurut kuasa hukum, Risno Adam, dugaan keterlibatan Iptu Dedy Matahari bukan tanpa dasar.
“Kami punya saksi. Kami punya rekaman. Kami punya nyawa yang hilang. Dan kami punya kebenaran,” tegas Risno.
Dalam video yang disebutkan, Aan mengaku dipukul menggunakan pipa besi, dan menyebut nama Iptu Dedy Matahari secara langsung. Sebelum meninggal, Aan sempat menukis surat tentang apa yang dialaminya. Mengeluh nyeri di dada dan paha, namun tidak mendapat perawatan medis yang layak.
Laporan keluarga Aan kini telah resmi dilimpahkan ke Polda Sulut. Pihak keluarga juga telah menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP), yang mereka anggap sebagai setitik cahaya dalam gelapnya lorong keadilan.
Bagi Inton, keadilan bukan tentang menang atau kalah. Ia tidak menuntut uang, tidak ingin sensasi, apalagi balas dendam. Yang ia inginkan sederhana kebenaran tentang siapa yang merenggut anaknya dari dunia ini.
“Saya tidak punya apa-apa. Tidak punya kuasa. Tidak punya koneksi. Tapi saya masih punya cinta dan keberanian sebagai ayah,” katanya lirih.
Aan bukan sekadar nama dalam laporan polisi. Ia adalah anak yang dibesarkan dengan kasih sayang. Ia adalah suara tawa yang dulunya memenuhi rumah kecil di Sondana. Kini, tawa itu telah hilang digantikan sunyi, tangis, dan malam-malam panjang yang penuh tanya. (*)