TOTABUAN.CO BOLSEL — Dua hari setelah insiden menghebohkan yang melibatkan oknum anggota DPRD Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Marsel Aliu, suasana lembaga legislatif itu masih diselimuti tanda tanya besar.
Pasalnya, hingga kini Ketua DPRD Bolsel Arifin Olii dan Ketua Badan Kehormatan (BK) Sarjan Podomi memilih bungkam, tanpa satu pun pernyataan resmi terkait langkah yang akan diambil terhadap anggotanya yang diduga mengamuk dan merusak fasilitas kantor sekretariat.
Padahal, publik menunggu sikap tegas. Sebab kasus ini bukan hanya persoalan perilaku individu, tetapi menyangkut wibawa lembaga dan etika pejabat publik.
Marsel Aliu, anggota DPRD dari Partai NasDem, sebelumnya diduga mengamuk di ruang sekretariat hanya karena uang perjalanan dinasnya belum cair.
Aksi itu menyebabkan sejumlah peralatan kantor dan berkas penting rusak. Ironisnya, peristiwa itu terjadi di ruang yang seharusnya menjadi pusat pelayanan bagi seluruh anggota dewan.
Sikap diam dua kader dari PDI Perjuangan justru menimbulkan pertanyaan serius.
Apakah lembaga legislatif daerah ini masih memiliki keberanian moral dan disiplin etik untuk menegakkan aturan di internalnya sendiri?
Tokoh muda Bolsel Amin Laiya menilai, ketidaktegasan itu mencerminkan krisis tanggung jawab di tubuh DPRD.
“Tugas Badan Kehormatan itu sangat strategis. Mereka diberi mandat menjaga martabat, moral, dan disiplin anggota DPRD. Tapi kalau diam, itu artinya mereka abai terhadap fungsi pengawasan etika,” ujarnya tegas.
Dia menambahkan, Badan Kehormatan (BK) sejatinya memiliki peran vital. Berdasarkan aturan, BK berwenang meneliti dugaan pelanggaran, memeriksa, memverifikasi, dan melaporkan hasilnya ke rapat paripurna.
BK juga memiliki hak memanggil anggota DPRD yang diduga melanggar, meminta keterangan saksi, serta merekomendasikan sanksi etik. Namun hingga kini, belum ada tanda-tanda BK Bolsel menjalankan fungsi itu.
“Jika lembaga pengawas internal memilih diam, maka pelanggaran akan dianggap wajar,” tegasnya.
Diamnya BK dan pimpinan dewan bukan hanya melemahkan lembaga, tapi juga mengirim pesan buruk ke publik bahwa DPRD Bolsel belum sepenuhnya memahami tanggung jawab moral pejabat publik.
Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini juga memperlihatkan rendahnya literasi politik dan etika sebagian anggota DPRD.
Sebagian wakil rakyat tampak lebih sibuk dengan urusan pribadi ketimbang menjalankan amanah rakyat.
Ada yang terpilih bukan karena gagasan besar atau kapasitas berpikir, melainkan sekadar karena dukungan suara minim yang lahir dari popularitas sesaat.
Dan ketika duduk di kursi kekuasaan, mereka sering lupa: jabatan publik bukan hak istimewa, tetapi amanah yang wajib dijaga dengan akal sehat dan etika.
“Lembaga DPRD semestinya tampil sebagai rumah etika politik, bukan tempat melampiaskan amarah.
Ketika seorang anggota dewan mengamuk di kantor sendiri, dan para pimpinan justru diam, maka yang rusak bukan hanya meja dan lemari, tapi kepercayaan rakyat terhadap lembaga itu sendiri,” sambung Amin.
Kini, tanggung jawab moral berada di pundak Ketua DPRD dan Ketua BK.
Mereka harus membuktikan bahwa DPRD Bolsel masih punya wibawa dan harga diri.
Jika tidak, maka publik berhak menilai, DPRD Bolsel bukan lagi rumah rakyat, melainkan panggung bagi mereka yang kehilangan kendali atas moral dan logika. (*)