TOTABUAN.CO BOLSEL — Kasat Reskrim Polres Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Iptu Dedy Matahari, resmi dilaporkan ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulawesi Utara atas dugaan keterlibatan dalam penganiayaan berat yang menyebabkan kematian tahanan, Revan Kutniawan Santoso alias Aan.
Laporan disampaikan langsung oleh Inton Budi Santoso, ayah korban, dengan didampingi tiga kuasa hukumnya, termasuk Risno Adam, pada Senin 25 Agustus 2025.
Laporan ini memperkuat tudingan serius bahwa terdapat kekerasan sistematis dalam proses penahanan di institusi kepolisian tingkat Polres.
“Kami menduga Iptu Dedy Matahari bukan hanya tahu, tapi ikut melakukan penganiayaan terhadap Aan,” tegas Risno kepada wartawan.
Risno menyatakan telah mengantongi 10 orang saksi yang melihat langsung tindak penganiayaan terhadap Aan selama ia ditahan di sel Polres Bolsel. Salah satu nama yang paling sering disebut Aan, adalah Kasat Reskrim, Iptu Dedy Matahari.
“Ada lebih dari satu saksi yang menyatakan melihat langsung Dedy Matahari melakukan kekerasan fisik terhadap Aan,” kata Risno.
Laporan awal sempat dilayangkan ke Polres Bolsel sehari setelah kematian Aan. Namun, perkara tersebut dilimpahkan berdasarkan surat dari Kapolres Bolsel AKBP Kuntadi Budi Pranoto. Kini laporan sudah resmi ditangani oleh Polda Sulawesi Utara.
“Kami sudah terima SP2HP, laporan telah dilimpahkan. Ini langkah penting untuk memastikan tidak ada konflik kepentingan di tingkat Polres,” jelas Risno.
Selain pelanggaran kode etik sebagai anggota Polri, tim hukum juga menyoroti kemungkinan unsur pidana berat dalam kasus ini, termasuk kekerasan terhadap tahanan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian.
“Kami tidak hanya ingin sanksi etik. Bila terbukti bersalah, Kasatreskrim harus diproses secara pidana,” tegasnya.
Pihak Polda Sulut belum memberikan pernyataan resmi soal status laporan terhadap Iptu Dedy Matahari maupun tindak lanjut pemeriksaan internal.
Kasus ini membuka kemungkinan adanya pola kekerasan sistemik dalam proses penahanan di Polres Bolsel. Dengan dugaan keterlibatan perwira setingkat kepala satuan reskrim, publik kini menuntut transparansi total dari kepolisian.
“Seorang tahanan itu dalam pengawasan negara. Bukan untuk disiksa apalagi sampai kehilangan nyawa,” kata Inton, ayah korban.
“Kalau pun dia salah, negara punya aturan hukum, bukan main hakim sendiri,” sambungnya.
Kini, Polres Bolsel terus menjadi sorotan
serta menjadi ujian bagi institusi kepolisian di Sulawesi Utara, khususnya dalam penegakan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak asasi tahanan. Sorotan tajam kini tertuju pada Kasatreskrim Polres Bolsel, yang harus menjawab bukan hanya secara hukum, tetapi juga di hadapan publik. (*)