TOTABUAN.CO BOLMONG — Aktivitas tambang emas ilegal di Bolaang Mongondow Raya (BMR) Sulawesi Utara makin menggurita. Di Bolaang Mongondow Raya (BMR) misalnya, terdapat tiga daerah yang menjadi sasaran para cukong bahkan warga negara asing (WNA). Tiga daerah itu yakni Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.
Maraknya temuan ekskavator dan alat berat yang beroperasi di kawasan hutan, menjadi bukti maraknya aktivitas tambang ilegal berskala besar tanpa mengantongi izin.
Puluhan alat berat diketahui telah beroperasi di lokasi-lokasi terpencil yang sulit dijangkau masyarakat umum.
Sumber media ini menyebutkan, aktivitas tambang ilegal kian masif dan terorganisir. Bahkan, diduga kuat ada keterlibatan oknum-oknum aparat penegak hukum karena diduga telah menerima aliran dana dari pemilik usaha tambang ilegal. Sebab, selama ini mereka bebas menggaruk tanla izin, dan tidak ada kontribusi ke daerah maupun negara.
Di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur misalnya, warga mengaku resah atas maraknya aktivitas tambang ilegal tersebut. Alat berat keluar masuk hutan hampir setiap hari tanpa hambatan berarti. Lahan perkebunan mereka rusak karena dilalui alat berat.
“Mereka makin berani, katanya banyak yang ‘pasang badan’ di belakang mereka,” ucap warga.
Aktivitas penambangan ilegal ini telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang cukup parah. Seperti sedimentasi sungai, hilangnya kawasan hutan lindung, hingga potensi konflik sosial. Ironisnya, meski aktivitas tambang tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun, belum terlihat adanya penindakan serius dari aparat kepolisian maupun dinas tetkait.
Di sisi lain, sumber penghasilan dari aktivitas tambang ilegal ini sebagian kecil dinikmati oleh masyarakat lokal, namun keuntungan terbesar masuk ke kantong cukong dan dibawa ke luar daerah. Hal ini menimbulkan ketimpangan sosial sekaligus menambah potensi konflik horizontal di tengah masyarakat.
Regulasi nasional sejatinya mengatur dengan ketat tentang aktivitas pertambangan. UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, menegaskan bahwa setiap kegiatan pertambangan tanpa izin resmi merupakan tindak pidana yang dapat dikenai hukuman penjara hingga 5 tahun serta denda hingga Rp100 miliar. Namun, lemahnya pengawasan dan dugaan praktik “main mata” dengan aparat penegak hukum membuat aktivitas tambang ilegal ini terus berlangsung tanpa hambatan berarti.
Selain di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, aktivitas tambang ilegal berskala besar juga makin marak terjadi di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.
Seruan penolakan dan protes dari masyarakat, tampaknya tidak digubris.
Aparat Kepolisian pun terlihat diam dan seolah tidak punya nyali. Puluhan hektar lahan diratakan dengan alat berat, dan kini menjadi bak-bak penampungan material.
Begitu juga di Kabupaten Bolaang Mongondow. Daerah ini menjadi langganan para cukong hingga WNA asal China. Mereka datang untuk mengambil emas dan kemudian tinggalkan kerusakan lingkungan.
Warga pun meminta pemerintah provinsi dan pusat segera turun tangan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap aktivitas pertambangan ilegal di Sulut di tiga daerah.
Mereka juga mendesak aparat penegak hukum agar tidak hanya menindak operator lapangan, tetapi mengusut tuntas jaringan aktor intelektual yang berada di balik praktik tambang ilegal ini.
Masyarakat berharap, hukum tidak hanya menjadi pajangan semata, tetapi benar-benar tercermin dalam perlindungan terhadap lingkungan dan penegakan hukum yang adil dan berani. (*)