TOTABUAN.CO BOLMONG – Penyelesaian tapal batas antara Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) hingga saat ini terus diselesaikan. Bahkan seiring dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung (MA) terkait judicial review yang diajukan Pemkab Bolmong beberapa waktu lalu, Pemkab Bolmong beroptimis bahwa sebagian wilayah yang saat ini diklaim masuk Kabupaten Bolsel akan kembali ke Kabupaten Bolmong.
Menurut Asisten I Pemkab Bolmong Deker Rompas, penyelesaian tapal batas wilayah masih tetap berpegang pada hasil putusan MA. Hal itu dikatakan Deker usai mengikuti video konfrensi bersama Direktur Toponimi dan Batas Daerah Sugiarto, SE. M.Si Jumat 2 Juli 2021.
“Soal tapal batas Kabupaten Bolmong dan Kabupaten Bolsel, kami tetap berpegang pada putusan MA Nomor 75 P/HUM/2018,” katanya.
Deker menilai, judicial revies yang diajukan Pemkab Bolmong, sebagai langkah hukum yang sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Baca Juga: Yasti dan Iskandar Sepakat Serahkan Persoalan Tapal Batas ke Kemendagri
Baca Juga: Pemprov Sulut Tindaklanjuti Persoalan Tapal Batas Bolmong-Bolsel
Baca Juga: Bupati Bersama Pansus Tinjau Tapal Batas Bolmong-Bolsel
Baca Juga: Judicial Review Dikabulkan, Bupati Sampaikan Ini Kemenangan Rakyat Bolmong
Deker menjelaskan, perselisihan batas itu bergulir setelah Pemkab Bolmong terlibat perselisihan batas daerah dengan Kabupaten Bolsel yang kemudian difasilitasi oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Utara. Namun dalam setiap pertemuan, Kabupaten Bolsel tetap tidak mengakui batas daerah tersebut meskipun masyarakat setempat tetap mengakui batas daerah yang telah disepakati melalui proses adat.
Pada judicial review yang diajukan Pemkab Bolmong hingga dikabulkan, dijelaskan bahwa Permendagri nomor 40 Tahun 2016 sama sekali tidak mengadopsi kesepakatan adat tahun 2004 dan tahun 2008. Pasal 2 Permendagri 40 Tahun 2016 secara eksplisit memunculkan titik titik koordinat baru yang memotong wilayah kesepakatan awal yang jumlahnya terdapat 4 titik yaitu kode TK 4, TK 5, TK 6 dan TK 7. Akibatnya, sebagian besar wilayah yang sebelumnya adalah wilayah Bolmong ditarik jauh dan masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Bolsel.
Deker menambahkan, selain tidak mengadopsi kesepakatan adat yang telah ada sebelumnya, penentuan titik titik koordinat baru yang diatur dalam Pasal 2 Permendagri 40 Tahun 2016, juga tidak didasarkan pada data penelitian faktual di lapangan. Semestinya titik-titik batas yang baru tersebut harus ada dasar penelitian survey/pengecekan lapangan. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum bagi hak-hak Pemkab Bolmong.
Di Pasal 1 ayat 5 Permendagri Nomor 40 Tahun 2016 menyatakan, titik koordinat Kartometrik yang selanjutnya disingkat TK adalah koordinat hasil pengukuran posisi titik dengan menggunakan peta dasar. Sedangkan dalam Permendagri Nomor 76 Tahun 2012 dalam penjelasannya menyatakan, jika batasnya adalah pertemuan lebih dari dua batas daerah, maka dilakukan pengukuran titik koordinat batas pada pertemuan batas (titik simpul) secara kartometrik.
Hal ini menunjukan bahwa titik TK dalam Permendagri Nomor 40 Tahun 2016 ada permasalahan, karena sejatinya hanya TK 1 lah yang merupakan pertemuan lebih dari dua daerah sebagai titik simpul yaitu pertemuan batas Kabupaten Bolmong, Kabupaten Bolsel dan Kabupaten Bolmut. Sedangkan 6 TK yang lain hanya merupakan pertemuan antar dua daerah yaitu Kabupaten Bolmong dan Kabupaten Bolsel. Akibat terbitnya Permendagri 40 Tahun 2016, Pemkab Bolmong harus menghadapi persoalan faktual yang telah terjadi di lapangan antara lain hilangnya asset daerah berupa wilayah yang berpotensi tinggi mengandung sumber daya alam. Kehilangan asset daerah ini akan mempengaruhi pemasukan daerah yang berpengaruh langsung kepada kesejahteraan warga Bolmong.
“Dengan terbitnya Permendagri 40 Tahun 2016 justru seolah meniadakan dan menganggap hukum adat (kesepakatan adat) dianggap sama sekali tidak ada. Hal ini yang ditanggung Pemkab Bolmong yang timbul akibat konflik social di lapangan,” begitu isi judicial review yang diajukan Pemkab Bolmong ke MA.
Kabag Hukum Pemkab Bolmong Muhamad Triasmara Akub menambahkan, dalam pengujian formil, MA menerima dan mengabulkan dan menyatakan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2016 tentang batas daerah Kabupaten Bolaang Mongondow dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan Provinsi Sulawesi Utara bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang pedoman penegasan batas daerah.
“Putusan MA sudah jelas. Bahwa Permendagri tidak sah dan tidak berlaku untuk umum karena mengandung cacat formil dalam pembentukannya,” tambahnya.
Itulah sebabnya lanjutnya, mengapa Pemkab Bolmong tetap berpegang pada putusan MA. Karena apa yang diputuskan itu, semua sudah diuji atas nama lembaga.
Pada rapat dengar pendapat melalui video konfrensi, pihak Pemkab Bolsel sendiri tidak hadir. Begitu juga dengan pihak Pemprov Sulut.
Dia berharap penyelesaian tapal batas antara dua daerah, akan selesai. Bahkan pihak Pemprov Sulut akan mengambil langkah adil berdasarkan keputusan MA. (*)