Keriuhan peringatan ke 75 tahun kemerdekaan Indonesia, sejenak melupakan sulitnya hidup terisolir di belantara. Seperti potret warga yang tinggal di desa Kolinganggaan Kecamatan Bilalang Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara, yang masih jauh dari kata Merdeka.
Sabtu 22 Agustus 2020 siang itu, menjadi hari melelahkan bagi Margono Pobela 39 tahun.
Margono menghela nafas panjangnya, setelah baru saja mengisi empat buah ember besar yang sudah kosong. Empat kali bolak balik mengambil air dengan jarak 100 meter, terletak di ujung kampung membuat sekujur tubuhnya dibasahi keringat.
Namun bagi bapak empat anak ini, pekerjaan mengambil air sudah menjadi pekerjaan sehari-hari.
Margono terlihat tampak sibuk. Karena sebelum mengambil air, Margono baru saja mencari kayu bakar di belakang rumahnya.
Saitad Mokodongan 32 tahun istrinya, tampak sedang menggendong anak keempatnya. Maklum Saitad belum bisa bekerja lebih, karena tiga bulan lalu baru melahirkan anak ke empat.
“Huff capek,” ucap Margono sambil menyeka keringat.
Sambil membakar rokok, suara rama keluar dari mulut pria berambut ikal itu sambil mempersilahkan duduk.
“Silahkan duduk. Maaf tidak pakai baju,” ucapnya.
Meski sudah siang, suasana di desa itu, tidak terlalu panas. Hawa masih terasa, karena desa tersebut terletak di puncak dan masih kelilingi pepohonan.
Margono dan Saitad tinggal di rumah yang berukuran 5 kali 4 yang berdinding papan. Rumah itu hanya memiliki satu kamar.
Bagi Margono, hidup di desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan punya beban besar. Baginya harus banyak bersabar dan banyak mensyukuri atas karunia yang Tuhan berikan.
Mereka jarang menikmati dan melihat suasana kota. Selain karena keterbatasan ekonomi, akses menuju kota sangat jauh.
Sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan dan jaringan telepon sangat jauh tertinggal. Seperti itulah yang dialami warga Desa Kolingangan yang berpenduduk 344 jiwa ini.
Desa Kolingangaan merupakan salah satu desa di Kecamatan Bilalang, boleh dibilang berada di pedalaman.
Margono mengungkapkan, jika warga di sini masih mengandalkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari.
“Kalau untuk mandi, cuci dan memasak kita masih ambil air di dekat sungai. Tapi sudah kita buatkan seperti sumur kecil,” kata Margono sambil menghisap rokoknya.
Namun ketika hujan lebat, apalagi air sudah bercampur lumpur, mereka harus mengambil air di sumur di dusun dua. Air menjadi kebutuhan sehari-hari. Apalagi dia memiliki empat anak yang semuanya masih kecil.
Semua sarana di desa ini katanya, masih sangat tertinggal. Mulai dari jalan, jaringan telepon, pendidikan serta kesehatan. Untuk menuju di desa tersebut, bukan perkara mudah. Sebab, harus melewati anak sungai, jalan berbatu penuh lumpur, tanjakan dan tikungan.
Makanya tidak ada transportasi angkutan umum menuju ke desa ini katanya.
“Kalau mobil, hanya ada mobil pick up yang mengangkut kayu olahan,” kata Margono.
Meski Indonesia sudah merdeka 75 tahun silam, tapi tidak bagi masyarakat di Desa Kolingangaan. 75 tahun merdeka, bukanlah waktu yang singkat. Merobek isolasi daerah pedalaman layaknya pungguk merindukan rembulan.
“Ya, saat ini kita belum merasakan arti dari kemerdekaan sesungguhnya,” kata pria yang hanya duduk di bangku kelas dua SMP itu.
Suasana siang jelang sore, tampak akrab. Margono bersama Istrinya, begitu sangat terbuka menerima kunjungan sekaligus mau bercengkerama.
Margono memiliki empat anak. Andri berumur 8 tahun sudah kelas dua SD, Marcela berumur 6 tahun Repa berumur 4 tahun dan Reni masih berumur tiga bulan.
Bertelanjang dada, Margono masih asik mengisap rokok yang saya tawarkan. Raut wajah Margono tampak sedang menikmati suasana siang menjelang sore itu.
Marcela dan Repa tampak sedang asik bermain, yang sesekali menganggu suasana ngobrol.
Margono mengaku hingga kini belum membuat KTP dan kartu keluarga. Alasannnya, karena belum punya biaya transportasi menuju ke kantor Capil di ibu kota kabupaten. Untuk menuju ke ibu kota kabupaten, butuh biaya kurang lebih 300 ribu.
Jalan dengan panjang sembilan kilo meter itu memang belum di rabat apalagi di aspal. Hal itu membuat dirinya harus mencari biaya untuk transportasi. Belum lagi ditambah untuk makan sehari-hari.
Dia menyebut, perkembangan kehidupan masyarakat di daerah pedalaman khususnya di desa Kolinganggaan belum merata. Warga masih mengeluhkan infrastruktur berupa jalan yang hingga kini belum terlihat jelas pembangunannya.
“Kita berharap, dengan HUT ke 75 kemerdekaan Indonesia, jalan sudah bisa dibangun. Kalau tidak, masyarakat akan terus menjerit,” katanya.
Margono mengaku baru satu tahun lalu pindah di rumah yang dia tempati saat ini. Rumah pertamanya, berada di samping sungai. Ia menukar rumah yang dia tempati dulu, karena kwatir terjadi luapan banjir.
Di depan rumahnya tampak ramuan kayu yang masih tersusun yang ditutupi dengan seng bekas. Ramuan kayu itu rencananya untuk dipasang kembali. Cuma karena terkendala biaya tukang.
Margono berasal dari Desa Tudu Aog. Sejak sepuluh tahun lalu, Margono sudah menetap di Desa Kolingganggan setelah menikah dengan Saitad.
Dia menceritakan, hampir setiap pagi dan sore, warga di sini mendatangi sungai untuk mandi, cuci, dan kebutuhan air bersih untuk minum dan memasak.
Meski begitu, air yang mereka konsumsi setiap hari diyakini masih jernih karena sumber mata air berasal dari bawah bukit diantara pepohonan.
Selain mengandalkan air sungai, masyarakat setempat juga terpaksa menghemat ketersediaan air bersih yang ada di tempat penampungan mereka.
“Makanya air hanya untuk keperluan minum. Kalau untuk mandi, bisa di sungai,” sambung Saitad.
Senyum Margono seolah jadi sindiran bagi kita yang hidup di daerah perkotaan. Rasanya selalu kurang puas dengan apa yang sudah dimiliki. Lihatlah orang-orang di pedalaman ini, mereka masih jauh dari kata sejahterah.
Ketika saya tanya, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk Desa Kolinganggan?. Margono menghela nafas panjang. Seketika, seolah ada jutaan beban yang menumpuk dipikirannya. Raut mukanya langsung berubah serius.
“Kami berharap ada perhatian dari pemerintah untuk kami di sini. Sinyal belum ada, jalan belum di aspal. Kasihan kami, kalau ada yang sakit, bisa mati di jalan,” ungkap Margono.
Di sini sudah ada bidan yang tinggal menetap. Tapi setiap pekan harus pulang. Begitu juga sekolah, tidak sebagus dengan sekolah yang ada di perkotaan.
Dia hanya berharap, meski berada di pedalaman hutan dan dikepung pegunungan, jangan sampai mereka yang tinggal di sini terlupakan.
Saat ini Indonesia telah berumur 75 tahun. Dan seperti biasa, naskah proklamasi itu kembali dibacakan oleh para pemimpin Negeri ini.
Boleh saja kita berbangga bersorak merdeka, sebab puluhan tahun lalu penjajah telah hengkang dari bumi pertiwi. Namun sayangnya, penjajahan masih terus berlanjut dan dirasakan bagi warga yang tinggal di pedalaman. Lantas, masih pantaskah melakukan euforia kemerdekaan di pedalaman?. Sementara kesejahteraan rakyat semakin jauh dari harapan.
Meski begitu, warga di desa tersebut masih memperingatinya. Lihatlah, meski HUT yang dilaksanakan setiap tanggal 17 Agustus, namun bendera merah putih yang masih berkibar dan masih tertancap di depan rumah. Hal itu sebagai bentuk ungkapan rasa terima kasih atas perjuangan yang telah memerdekaan bangsa ini.(*)
Penulis: Hasdy