TOTABUAN.CO BOLMONG – Penjabat Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) Limi Mokodompit bakal dihadapkan dengan situasi sulit. Pasalnya Integritas seorang anak Mongondow akan dipertaruhkan dalam menghadapi persoalan batas wilayah dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel).
Situasi ini karena masa jabatan Limi akan berakhir pada 22 Mei 2023 berdasarkan SK Mendagri Muhamad Tito Karnavian. Artinya selama satu tahun banyak tantangan yang dihadapi. Salah satunya yakni persoalan tapal batas dengan kabupaten tetangga yang hingga kini belum tuntas seratus persen.
Anggota DPRD Bolmong Febrianto Tangahu mengatakan, hingg kini status tapal batas Bolmong dan Bolsel belum final. Sehingga perlu ada kejelasan dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Dari sekian tantangan yang dihadapi seorang Pj Bupati, saya kira persoalan tapal batas perlu menjadi perhatian,” katanya.
Persoalan tapal batas antara Bolmong dan Bolsel terletak di daerah Lolayan yang merupakan daerah pemilihannya. Tentu Ia berharap sudah bisa diketahui sejauh mana penyelesaian.
“Enta seperti apa, yang pasti masyarakat ingin tahu statusnya,” kata politisi Nasdem ini.
Ia mengatakan, sebagai birokrat dengan kualitas yang mumpuni, Pj Bupati Bolmong Limi Mokodompit harus mampu memainkan kepemimpinan transisional yang terbaik. Termasuk harus mampu menjembatani kesinambungan pemerintahan sebelumnya.
“Di sini integritas seorang Pj Bupati sangat dibutuhkan. Sebab, mereka memiliki kekuatan seperti kepala daerah definitif. Keputusannya akan berdampak luas,” sambungnya.
Meskipun hanya menjadi penjabat yang bersifat sementara, seorang penjabat kepala daerah harus memiliki kualitas mental kepemimpinan yang diinginkan masyarakat, tandasnya.
Seiring dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung (MA) terkait judicial review yang diajukan Pemkab Bolmong beberapa waktu lalu, bahwa sebagian wilayah yang saat ini diklaim masuk Kabupaten Bolsel akan kembali ke Kabupaten Bolmong.
Sebelumnya Asisten I Pemkab Bolmong Deker Rompas mengatakan, penyelesaian tapal batas wilayah masih tetap berpegang pada hasil putusan MA.
“Soal tapal batas Kabupaten Bolmong dan Kabupaten Bolsel, kami tetap berpegang pada putusan MA Nomor 75 P/HUM/2018,” katanya.
Deker menilai, judicial revies yang diajukan Pemkab Bolmong, sebagai langkah hukum yang sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Deker menjelaskan, perselisihan batas itu bergulir setelah Pemkab Bolmong terlibat perselisihan batas daerah dengan Kabupaten Bolsel yang kemudian difasilitasi Pemprov Sulut.
Pada judicial review yang diajukan Pemkab Bolmong hingga dikabulkan, dijelaskan bahwa Permendagri nomor 40 Tahun 2016 sama sekali tidak mengadopsi kesepakatan adat tahun 2004 dan tahun 2008. Pasal 2 Permendagri 40 Tahun 2016 secara eksplisit memunculkan titik titik koordinat baru yang memotong wilayah kesepakatan awal yang jumlahnya terdapat 4 titik yaitu kode TK 4, TK 5, TK 6 dan TK 7. Akibatnya, sebagian besar wilayah yang sebelumnya adalah wilayah Bolmong ditarik jauh dan masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Bolsel.
Deker menambahkan, selain tidak mengadopsi kesepakatan adat yang telah ada sebelumnya, penentuan titik titik koordinat baru yang diatur dalam Pasal 2 Permendagri 40 Tahun 2016, juga tidak didasarkan pada data penelitian faktual di lapangan. Semestinya titik-titik batas yang baru tersebut harus ada dasar penelitian survey/pengecekan lapangan. Akibatnya, tidak ada kepastian hukum bagi hak-hak Pemkab Bolmong.
Di Pasal 1 ayat 5 Permendagri Nomor 40 Tahun 2016 menyatakan, titik koordinat Kartometrik yang selanjutnya disingkat TK adalah koordinat hasil pengukuran posisi titik dengan menggunakan peta dasar. Sedangkan dalam Permendagri Nomor 76 Tahun 2012 dalam penjelasannya menyatakan, jika batasnya adalah pertemuan lebih dari dua batas daerah, maka dilakukan pengukuran titik koordinat batas pada pertemuan batas (titik simpul) secara kartometrik.
Hal ini menunjukan bahwa titik TK dalam Permendagri Nomor 40 Tahun 2016 ada permasalahan, karena sejatinya hanya TK 1 lah yang merupakan pertemuan lebih dari dua daerah sebagai titik simpul yaitu pertemuan batas Kabupaten Bolmong, Kabupaten Bolsel dan Kabupaten Bolmut. Sedangkan 6 TK yang lain hanya merupakan pertemuan antar dua daerah yaitu Kabupaten Bolmong dan Kabupaten Bolsel. Akibat terbitnya Permendagri 40 Tahun 2016, Pemkab Bolmong harus menghadapi persoalan faktual yang telah terjadi di lapangan antara lain hilangnya asset daerah berupa wilayah yang berpotensi tinggi mengandung sumber daya alam. Kehilangan asset daerah ini akan mempengaruhi pemasukan daerah yang berpengaruh langsung kepada kesejahteraan warga Bolmong.
“Dengan terbitnya Permendagri 40 Tahun 2016 justru seolah meniadakan dan menganggap hukum adat (kesepakatan adat) dianggap sama sekali tidak ada. Hal ini yang ditanggung Pemkab Bolmong yang timbul akibat konflik social di lapangan,” begitu isi judicial review yang diajukan Pemkab Bolmong ke MA.
Kabag Hukum Pemkab Bolmong Muhamad Triasmara Akub menambahkan, dalam pengujian formil, MA menerima dan mengabulkan dan menyatakan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2016 tentang batas daerah Kabupaten Bolaang Mongondow dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan Provinsi Sulawesi Utara bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 76 Tahun 2012 tentang pedoman penegasan batas daerah.
“Putusan MA sudah jelas. Bahwa Permendagri tidak sah dan tidak berlaku untuk umum karena mengandung cacat formil dalam pembentukannya,” tambahnya.
Itulah sebabnya lanjutnya, mengapa Pemkab Bolmong tetap berpegang pada putusan MA. Karena apa yang diputuskan itu, semua sudah diuji atas nama lembaga.
Dia berharap penyelesaian tapal batas antara dua daerah, akan selesai. Bahkan pihak Pemprov Sulut akan mengambil langkah adil berdasarkan keputusan MA. (*)