TOTABUAN.CO BOLMONG – Aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) di wilayah Blok Bakan Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) semakin meluas. Aktivitas yang sudah berjalan sudah satu tahun ini, banyak menuai tanggapan karena dilakukan secara sporadis tanpa mengikuti kaidah-kaidah pertambangan yang benar.
Menurut Aktivis Anti Korupsi Bolmong, Yakin Paputungan, melihat kondisi saat ini, ada ribuan warga beraktivitas di lokasi itu, pemerintah segera mengambil langkah. Salah satunya, jika aturan memungkinkan, maka lokasi itu dijadikan wilayah pertambangan rakyat (WPR) saja.
“Tapi, perlu diingat bahwa wilayah Blok Bakan itu masih termasuk wilayah kontrak karya (KK) PT J- Resources Bolaang Mongondow (J-RBM). Sehingga, perlu ada koordinasi antara pemerintah dan pemegang kontrak karya serta kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Kehutanan (Kemenhut),” kata Yaki Rabu 5 April 2017.
Jika tidak bisa dijadikan WPR kata Yakin, maka pemerintah harus tegas melakukan penghentian aktivitas PETI. Sebab jika itu terjadi maka akan sangat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) tegasnya.
Selain itu, jika tidak dihentikan dan terjadi pencemaran lingkungan kemudian menyebabkan warga menjadi korban, maka siapa yang akan bertanggungjawab.
“Tentu jika mengikuti siapa pemegang kontrak karya, maka persoalan itu dibebankan kepada perusahaan,” katanya.
Menurut Yakin, pihaknya menyampaikan seperti itu karena saat ini sudah ada beberapa warga yang sedang dimintai keterangan di Mapolda Sulut terkait keterlibatan dalam kegiatan PETI tersebut.
“Saya kembali menyampaikan kepada Pemkab Bolmong, Pemprov Sulawesi Utara (Sulut) bahkan aparat penegak hukum Polres Bolmong dan Polda Sulut supaya tanggap,” ujarnya.
Dari data yang dia peroleh, hanya dalam jangka waktu delapan bulan, hampir 5 haktare (Ha) lahan di Blok Bakan dijadikan lokasi PETI. Ancaman kerusakan lingkungan terus mengingatai karena bahan beracun berbahaya (BBB) seperti limbah merkuri dan sianida berpotensi dibuang secara tidak beratura.
Kegiatan PETI katanya bakal berdampak negatif yang besar. Apalagi, areal itu adalah hulu sungai, sumber air bersih yang mengairi ratusan hekatare (Ha) persawahan.
Seperti Sungai Lolotut, Tapa Tagin,Tapa Gale, Tapa Bolaang dan Tulopan. Bahkan, meski area tersebut masuk dalam kontrak karya PT J-RBM, perusahaan tersebut juga tidak bisa menyentuh atau melakukan pengolahan di lokasi itu karena itu adalah daerah penyanggah, ujarnya.
Pemerintah harus memberi solusi karena fakta di lapangan ada ribuan warga yang menggantugan hidup mereka untuk menambang. Di sisi lain, kegiatan itu melanggar Undang-Undang Nomor:4 Tahun 2009 (UU No:4/2009) Tantang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Ini juga untuk menindaklanjuti konvensi internasional minamata di Jepang pada 10 Oktober 2013 yang ikut ditandatangani pemerintah Indonesia.
Selain itu, ini juga sebagai tindaklanjut rapat terbatas Presiden Jokowi pada 7 Maret baru-baru ini soal penertiban tambang ilegal dan peredaran merkuri.
“Jangan sampai pembiaran itu kemudian masyarakat terkena masalah hukum,” katanya.
Penulis: Hasdy