TOTABUAN.CO BOLMONG — Penanganan kasus dugaan penganiayaan terhadap NL, seorang perempuan warga Desa Labuang Uki, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), kini memasuki babak baru. Peristiwa yang awalnya terjadi di ranah domestik ini telah menjadi perhatian publik setelah pernyataan kontroversial Kepala Desa Labuang Uki, Ibrahim Nata, menyulut kecaman dari berbagai kalangan, terutama organisasi perempuan.
Pernyataan Ibrahim yang dilontarkan secara terbuka di media sosial, menyudutkan korban dengan label negatif tanpa proses hukum yang sah, dianggap telah mencederai semangat keadilan dan perlindungan terhadap korban kekerasan, terutama perempuan.
Kini, kasus ini bukan lagi sekadar persoalan pribadi. Ia telah berubah menjadi cerminan dari cara kekuasaan lokal memperlakukan korban, memaknai keadilan, dan menjalankan tanggung jawab etika dalam jabatan publik.
Ketua LSM Suara Bobai Totabuan (Bobato), Erni Tungkagi, menyatakan keprihatinannya terhadap sikap Ibrahim Nata yang dinilai terburu-buru dalam mengambil kesimpulan dan menghakimi warganya sendiri.
“Kami menyayangkan pernyataan kepala desa yang terlalu cepat melakukan justifikasi terhadap salah satu pihak. Tidak ada siapapun yang berhak memberikan label negatif terhadap orang lain, apalagi terhadap korban yang sedang berjuang untuk mendapatkan keadilan,” ujar Erni.
Menurut Erni, pemerintah desa seharusnya menjadi ruang perlindungan pertama bagi warganya, bukan justru menjadi sumber stigmatisasi. Terlebih lagi, korban dalam kasus ini adalah perempuan yang menurut UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual termasuk dalam kelompok rentan yang harus diprioritaskan perlindungannya.
“Pemerintah desa seharusnya mengedepankan prinsip hak asasi manusia dan menjunjung praduga tak bersalah. Tidak semestinya seorang kepala desa menyampaikan pernyataan yang dapat memperkeruh keadaan atau bahkan menyakiti psikologis korban,” tambahnya.
LSM Bobato juga menilai bahwa Ibrahim Nata telah gagal menunjukkan keteladanan sebagai pemimpin lokal, dan justru memperlihatkan sikap yang tidak berpihak pada warganya sendiri.
“Secara tidak langsung, pernyataan beliau telah melukai harga diri dan kepercayaan warga kepada pemerintah desa. Padahal, jabatan kepala desa bukan alat untuk mendiskreditkan, melainkan amanah untuk melindungi,” tegas Erni.
Ia juga menegaskan bahwa tindakan kepala desa itu bisa menjadi indikator dari persoalan yang lebih luas yaitu kegagalan dalam menjalankan tata kelola desa yang adil, transparan, dan akuntabel, termasuk dalam hal pengelolaan dana desa dan penyelesaian konflik sosial.
Kecaman serupa datang dari Korps HMI-Wati (KOHATI) Bolmong, melalui ketuanya, Siti Nurhalisa Putri Andini Mo’o, yang menilai bahwa persoalan ini menunjukkan masih kuatnya budaya patriarki yang merugikan perempuan, terutama saat terjadi konflik rumah tangga atau kekerasan domestik.
“Yang terjadi bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan simbolik dan sosial. Korban diusir dari kampung, dipermalukan di ruang publik, dan dilabeli negatif. Ini bentuk kekerasan berlapis yang tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan dan keadilan gender,” ujarnya.
Siti Nurhalisa menambahkan, tindakan seperti memotong rambut korban, mengusir dari lingkungan tempat tinggal, atau menuduh secara sepihak, adalah bentuk pelanggaran martabat yang seharusnya tidak terjadi di tengah masyarakat yang menjunjung nilai hukum dan musyawarah.
“Penyelesaian masalah seharusnya dilakukan secara bermartabat, bukan dengan mempermalukan perempuan. Baik NL maupun GL, keduanya adalah manusia yang punya martabat dan hak hukum. Tidak ada ruang untuk kekerasan tambahan atas nama aib atau adat,” tegasnya.
KOHATI juga menyoroti bagaimana sistem sosial yang masih bias gender sering kali menjadikan perempuan sebagai pihak yang paling cepat disalahkan, bahkan ketika mereka menjadi korban.
“Perempuan sering kali harus menanggung malu, sanksi sosial, dan tekanan psikologis, sementara pelaku justru bebas dari tanggung jawab sosial. Ini yang perlu kita ubah. Mari jadikan kasus ini sebagai refleksi bersama, agar perempuan tidak lagi jadi korban berlapis di tengah masyarakat kita,” ucap Siti.
Ia juga menegaskan pentingnya solidaritas antarperempuan dan dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah dan aparat penegak hukum, untuk memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan dan keadilan.
Baik LSM Bobato maupun KOHATI menyatakan dukungannya terhadap langkah hukum yang telah diambil oleh NL. Mereka yakin aparat kepolisian, khususnya Polres Bolaang Mongondow, menangani kasus ini secara profesional, adil, dan transparan.
“Kami percaya bahwa penyidik Polres Bolmong akan bekerja berdasarkan fakta hukum dan menjunjung tinggi keadilan,” ujar Erni.
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa jabatan kepala desa bukan hanya soal kekuasaan administratif, tetapi juga soal kematangan moral dan kepekaan sosial. Ketika seorang kepala desa justru mempermalukan warganya yang sedang menghadapi kekerasan, maka itu adalah alarm keras bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk meninjau kembali integritas kepemimpinan lokal.
Pemerintah desa seharusnya menjadi pelindung warganya, terutama yang paling rentan. Dan bila kepercayaan itu dirusak oleh tindakan tidak bijak dan ucapan yang melukai, maka sangat wajar bila publik mendesak adanya koreksi, bahkan sanksi yang setimpal.
“Desa bukan ruang kekuasaan, tapi ruang keadilan. Dan keadilan itu harus dimulai dari cara kita memperlakukan korban,” pungkas Siti. (*)