TOTABUAN.CO BOLMONG —Di balik senyum polos seorang anak bernama Adelin, tersimpan kisah yang membuat hati siapa pun akan tercekat. Gadis kecil yang kini duduk di bangku kelas IV Sekolah Dasar ini seharusnya menikmati masa kanak-kanak dengan tawa dan kasih sayang. Namun takdir justru mempertemukannya dengan luka. Luka yang bukan lahir dari orang lain, melainkan dari keluarga kandungnya sendiri.
Sekitar sepuluh tahun silam, saat Adelin baru berusia dua bulan, bayi mungil itu diserahkan kepada sepasang suami istri di Dssa Langagon Kecamatan Bolaang Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong). Penyerahan itu disertai janji, sang bayi akan diasuh dengan penuh kasih, dan keluarga kandungnya berjanji memberi imbalan setiap bulan.
Namun janji tinggal janji. Setelah dua bulan, keluarga kandung tak lagi memberi nafkah, tak lagi menengok, tak lagi menanyakan kabar.
Sejak saat itu, Nurbaya Dasinangon dan suaminya menjadi segalanya bagi Adelin. Ayah, ibu, rumah, sekaligus pelindung.
Mereka menyekolahkan, merawat, dan membesarkan Adelin dengan penuh cinta, tanpa pernah mengeluh, meski tahu anak itu bukan darah daging mereka.
Hingga ketika Adelin hendak masuk sekolah, muncul persoalan sederhana tapi menyakitkan. Ia tak memiliki akta kelahiran. Dengan hati-hati, sang ibu asuh menghubungi oma kandungnya, berharap mendapat dokumen itu. Namun jawaban yang diterima justru menorehkan luka baru.
“Aktenya tidak ada, kalian buat saja dan masukkan ke kartu keluarga kalian,”
kata sang oma dingin, seolah sedang bicara tentang sesuatu yang tak bernyawa.
Sejak itu, tak ada lagi kabar dari keluarga kandung. Adelin tumbuh dalam pelukan keluarga pengasuhnya di desa, berlari kecil di halaman, memanggil “Mama” dan “Papa” pada orang-orang yang benar-benar menjaganya.
Hingga hari itu tiba 17 Agustus 2025, hari yang seharusnya dipenuhi semangat kemerdekaan, berubah menjadi hari kehilangan.
Sore itu, oma kandungnya, Erni Mende, datang bersama beberapa anggota keluarga. Dengan nada penuh permohonan, mereka berkata bahwa kakek Adelin sedang sekarat dan ingin melihat cucunya.
Ayah asuh sempat menolak, hatinya gelisah. Tapi desakan dan janji manis bahwa anak itu hanya akan dibawa selama satu minggu membuatnya akhirnya mengizinkan.
“Cuma seminggu,” begitu mereka berjanji.
Namun waktu berlalu, seminggu berganti bulan, dan Adelin tak pernah kembali.
Telepon tak dijawab, pesan tak dibalas. Hubungan yang selama ini dibangun dengan kasih diputus begitu saja, seolah tak berarti.
Yang lebih memilukan, dari balik telepon, suara kecil itu sempat bergetar di ujung sambungan.
“Kaka, jemput Adelin… Adelin mau pulang… Adelin mau sama Mama…” tangis itu terdengar lirih, memecah hati siapa pun yang mendengarnya.
Informasi yang diterima juga semakin membuat dada sesak. Anak yang sejak kecil dibesarkan dalam ajaran Islam, kini dibawa ke gereja oleh keluarga kandungnya.
Anak kecil yang belum memahami pergulatan dunia orang dewasa, kini harus menanggung beban kehilangan identitas, keyakinan, dan rasa aman hal yang seharusnya menjadi hak dasarnya sebagai manusia.
Perbuatan itu bukan sekadar ketidakpedulian. Itu penelantaran, pemaksaan, bahkan pelanggaran hak anak sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak secara tegas menyebut:
Pasal 76B jo. Pasal 77B: menelantarkan anak dapat dipidana penjara hingga lima tahun dan/atau denda seratus juta rupiah.
Pasal 86: anak berhak menjalankan ibadah sesuai agamanya dan dilindungi dari pemaksaan untuk berpindah keyakinan.
Bahkan, tindakan membawa anak secara sepihak tanpa izin wali pengasuh dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 335 KUHP.
Atas dasar itu, muncul kecaman terbuka terhadap tindakan Erni Mende dan keluarga kandung Adelin yang telah menelantarkan anak sejak bayi. Mengambilnya secara sepihak tanpa izin keluarga pengasuh.
Selain itu melanggar hak dasar anak untuk beragama sesuai keyakinannya.
Kami mendesak agar Adelin segera dikembalikan ke pangkuan keluarga pengasuhnya, Nurbaya Dasinangon, tempat di mana ia tumbuh dengan kasih sayang tulus. Jika dalam waktu dekat tidak ada itikad baik, kami bersama kuasa hukum dan lembaga perlindungan anak akan menempuh jalur hukum pidana dan perdata sesuai peraturan yang berlaku, kata sejumlah warga.
Kami juga menyerukan kepada Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Utara, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perlindungan Anak, hingga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, untuk turun tangan segera dan memastikan perlindungan hukum bagi Adelin.
Sebab seorang anak bukanlah barang titipan yang bisa diambil dan dikembalikan sesuka hati. Ia adalah manusia dengan hak, keyakinan, dan kasih yang seharusnya dijaga.
Dan hari ini, masyarakat berdiri bersama Adelin untuk memastikan bahwa cinta, bukan penelantaran yang akan menulis akhir kisah hidupnya. (*)