TOTABUAN.CO BOLMONG — Desa Labuang Uki, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, biasanya tenang. Namun, beberapa minggu terakhir, suasana berubah. Ketenangan itu terusik oleh kisah seorang perempuan berinisial NL, yang mendadak harus meninggalkan kampung halaman bukan karena kehendaknya, melainkan karena perintah kepala desa.
“Saya dipaksa keluar tanpa alasan jelas. Tanpa proses hukum. Saya hanya ingin keadilan,” ujar NL, matanya berkaca-kaca saat ditemui di salah satu rumah kerabatnya.
Kisah NL bukan sekadar tentang satu orang. Ini tentang bagaimana kekuasaan bisa berubah menjadi alat penindasan, bahkan di tingkat pemerintahan desa. Tentang bagaimana seorang warga bisa kehilangan tempat tinggal bukan karena vonis pengadilan, tapi permintaan dari seorang kepala desa.
Kasus ini bermula dari konflik pribadi yang berujung pada proses hukum. NL yang menjadi korban dugaan penganiayaan seorang anggota Bhayangkari berinisial GL.
Namun, sebelum perkara berujung ke SPKT Polres Bolmong, pemerintah desa mengundang kedua pihak untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan.
Musyawarah desa biasanya menjadi ruang damai tapi tidak bagi NL.
Ia mengaku pertemuam itu, rupanya menjadi ruang pemaksaan, agar kasus tersebut berakhir damai.
“Kami diajak berdamai, tapi kami menolak. Bukan karena kami keras kepala, tapi karena kami percaya pada proses hukum,” ungkap salah satu anggota keluarga NL.
Penolakan itu rupanya dianggap sebagai duri oleh pemerintah desa. Tak lama kemudian, NL menerima perintah pindah domisili dari desa. Tidak ada surat resmi pengusiran, tapi tekanan itu terasa nyata.
Ibrahim Nata, Kepala Desa Labuang Uki, adalah tokoh sentral dalam peristiwa ini. Di balik sikap tegasnya, publik mulai bertanya-tanya: sejauh mana kewenangan seorang kepala desa dalam mengatur kehidupan warganya?. Saat dimintai tanggapan, Ibrahim bersikeras bahwa ia hanya menjaga marwah desa.
“Kami akan keluarkan surat rekomendasi mutasi. Siapa saja yang merusak nama baik desa, harus dipindahkan,” tegasnya.
Ia berdalih bahwa Desa Labuang Uki adalah desa adat, dan nilai-nilai adat harus dijaga. Namun, hingga kini tidak ada penjelasan hukum yang mendasari tindakan tersebut. Tidak ada putusan pengadilan. Tidak ada hasil musyawarah resmi yang menyatakan NL bersalah.
Bagi NL, pengusiran ini bukan sekadar kehilangan alamat. Ini tentang kehilangan identitas.
“Saya tidak tahu harus ke mana. Saya tidak pernah membayangkan akan terusir dari tanah sendiri,” ujarnya lirih.
Tetangganya, sebagian memilih diam. Ada rasa takut. Apalagi ketika kekuasaan tak lagi menyisakan ruang bertanya.
Pakar hukum tata pemerintahan menegaskan, kepala desa tidak memiliki kewenangan untuk memaksa warga pindah domisili tanpa mekanisme hukum.
Sebab hal ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi warga negara.
“Hukum tidak memberi hak bagi kepala desa untuk menentukan nasib domisili seseorang tanpa proses legal,” ujar salah satu akademisi di Manado.
Desakan dari warga dan keluarga NL pun mulai menguat. Mereka meminta Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow untuk segera turun tangan, mengevaluasi tindakan kepala desa, dan memulihkan hak-hak NL sebagai warga negara.
Meski luka masih terasa, NL belum menyerah. Ia percaya, selama hukum masih berpijak, keadilan bisa ditemukan.
“Saya hanya ingin diperlakukan adil. Kalau saya salah, biar hukum yang buktikan. Bukan kepala desa,” tegasnya.
Kisah NL membuka mata: bahwa kekuasaan di tangan yang salah bisa menjadi ancaman, bahkan di tempat sekecil desa. Maka, pertanyaan besar pun bergema dari Labuang Uki ke seluruh penjuru negeri. Apakah kepala desa boleh mengatur siapa yang boleh tinggal dan siapa yang harus pergi?. Jika dibiarkan, Labuang Uki bukan hanya akan kehilangan satu warganya. Ia akan kehilangan kepercayaannya pada keadilan.
Kasus NL ini membuka mata publik, bahwa
kekuasaan tidak jadi alat penindasan, dan desa tetap menjadi rumah yang adil bagi semua. (*)