TOTABUAN.CO KOTAMOBAGU—Penanganan kasus dugaan korupsi reses DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) penyidik Kejaksaan Negeri Kotamobagu diterpa isu suap. Di mana dalam penanganan kasus tersebut, penyidik dikabarkan menerima suap Rp 600 juta dari para anggota DPRD Bolmong untuk tidak melanjutkan penyelidikan kasus tersebut.
Ketua Lembaga Investigasi Tindak Pidana Korupsi (LITPK) RI, cabang Bolmong Raya, Yakin Paputungan mengaku jika isu tersebut ramai dibicarakan.
“Isu itu ramai dibicarakan oleh para staf di kantor DPRD. Di mana oknum jaksa yang menangani kasus itu, dikabarkan telah menerima uang Rp 600 juta,” kata Yakin.
Yakin menegaskan, jika tidak benar isu tersebut ebaiknya pihak Kejaksaan harus segera mengambil langkah tegas dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Sebab sudah dua staf dijadikan sebagai tersangka.
“Jangan sampai kabar ini menjadi bola liar hingga menjatuhkan martabat dari aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan,” tambah dia.
Terpisah, Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejari Kotamobagu, Da’wan Manggalupang, ketika dikonfirmasi membantah keras soal tudingan tersebut. Menurut Da’wan, pihaknya bukan sengaja memperlambat kasus ini, namun berdasarkan mekanisme pengusutan kasus korupsi, pihaknya harus dapat menentukan besaran kerugian negara, baru bisa dilanjutkan ke tahap penuntutan. Nah, langkah untuk menentukan kerugian negara itu, harus berdasarkan lembaga independen yang sudah bersertifikat, diantaranya, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Da’wan menambahkan, pihak BPKP sendiri, saat ini masih meminta tambahan sejumlah dokumen untuk bisa menghitung kerugian negara yang dilakukan para anggota DPRD.
“BPKP belum lama ini meminta tambahan dokumen berupa keterangan dari para kepala desa, tentang kegiatan yang dilakukan para anggota DPRD ini,” terang Da’wan.
Da’wan pun menghimbau kepada masyarakat agar jangan mudah termakan isu terkait penanganan kasus tersebut.
Menanggapi akan hal itu, Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan, hukum dan Ekonomi Terapan, Bolmong, Sofyanto, mengatakan tidak ada alasan bagi Kejaksaan untuk memperlambat suatu penuntasan kasus. Sebab, hal itu bisa berdampak buruk terhadap kinerja korps Adhiyaksa sendiri. Lamanya pengusutan kasus sudah diatur dalam Surat Keputusan Ketua MA Nomor 119/SK/KMA/VII/2013 dan Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 2014, tentang MA harus memutus paling lama 3 bulan setelah perkara tersebut diterima oleh Ketua majelis kasasi/PK.
“Sedangkan, untuk penyelesaian perkara tingkat banding dan tingkat pertama harus dilakukan paling lambat masing-masing 3 dan 5 bulan,” kata Sofyanto.
“Jika dilihat dari lamanya pengusutan kasus reses ini, tentu pihak Kejari telah melanggar surat keputusan ketua MA dan surat edaran MA. Jika tidak mau hal tersebut menjadi bomerang, sebaiknya pihak Kejaksaan harus cepat menyelesaikannya,” tandas Sofyanto.(Has)