TOTABUAN.CO BOLMONG —Dugaan praktik pengaturan proyek pemerintah di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) terus menuai sorotan. Satu perusahaan bernama CV FKJ disebut-sebut menguasai sedikitnya 12 paket pekerjaan konstruksi di dua daerah, yakni Kota Kotamobagu dan Kabupaten Bolmong, pada tahun anggaran 2025, dengan nilai mencapai ratusan juta rupiah.
Dokumen yang diperoleh redaksi menunjukkan adanya pola pemenangan yang mencurigakan. Sejumlah proyek yang dimenangkan CV FKJ memiliki nilai dan waktu penetapan hampir bersamaan, bahkan beberapa diumumkan di hari dan jam yang sama, sehingga menimbulkan dugaan kuat adanya pengaturan pemenang tender dan persekongkolan dalam proses pengadaan.
Informasi yang dihimpun menyebut, pola pemenangan berulang ini tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan oknum di lingkup Bagian PBJ. Beberapa sumber menyebut adanya “pengondisian” proyek agar diarahkan kepada penyedia tertentu.
“Sangat kecil kemungkinan bisa menang sebanyak itu tanpa ada yang mengatur dari dalam. Ada indikasi kuat oknum PBJ ikut bermain,” ungkap salah satu sumber internal yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Praktik ini jelas melanggar ketentuan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 sebagaimnaa telah diubah dengan Perpres 46 Tahun 2025 yang mengatur bahwa usaha kecil hanya boleh mengerjakan maksimal lima paket proyek secara bersamaan. Dengan mengerjakan lebih dari batas tersebut, CV FKJ diduga melampaui Sisa Kemampuan Paket (SKP) dan berpotensi dikenai sanksi administratif hingga pidana.
Di sisi lain, Kepala Bagian PBJ Kabupaten Bolmong, Dedy Modeong, hingga kini belum memberikan keterangan apa pun terkait dugaan pengaturan proyek tersebut.
Beberapa kali wartawan mencoba melakukan konfirmasi melalui pesan WhatsApp, namun yang bersangkutan enggan menjawab.
Sikap diam ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan publik. Banyak pihak menilai, ketertutupan pejabat publik dalam isu sensitif seperti ini justru memperkuat dugaan adanya permainan di balik proses pengadaan.
“Kalau memang tidak ada masalah, harusnya dijelaskan terbuka. Bungkam seperti ini justru menimbulkan kesan ada yang disembunyikan,” ujar pemerhati konstruksi BMR, Hi Iwan Naukoko.
Kasus ini disebut sebagai indikasi adanya monopoli proyek dan konflik kepentingan antara penyedia dan oknum pejabat di dua daerah. Penguasaan proyek dalam jumlah besar oleh satu perusahaan menyalahi prinsip persaingan usaha sehat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
“APH harus turun tangan. Ini bukan hanya soal administrasi, tapi sudah masuk ranah persekongkolan dan penyalahgunaan wewenang,” tegas Iwan.
Publik kini menunggu langkah tegas dari Pemkab Bolmong dan aparat penegak hukum untuk menelusuri dugaan pengaturan proyek ini secara menyeluruh, termasuk peran oknum pejabat PBJ yang memilih bungkam di tengah sorotan publik. (*)







